Thursday 20 February 2014

Aku bukan Ayah



Dewa melemparkan begitu saja gitar akustik kesayangannya ke kasur usang yang terbentang di sudut kiri kostan nya. Anwar yang sedari tadi mengikuti langkah Dewa akhirnya bisa bernafas lega, meredam amarah Dewa bukan perkara mudah.
“Akan kubeli mulut mereka yang hari ini sudah menghinaku, War!” sumpah Dewa.
Anwar mengangguk, entah mengangguk mengamini atau mengangguk hanya untuk mendinginkan hati sahabatnya yang masih panas itu.
“Minum dulu, Wa. Istigfar...!”
Meski masih dongkol, tak urung juga Dewa menerima uluran gelas yang berisi air bening dari tangan Anwar.
Kejadian siang ini benar-benar membuatnya hilang kesabaran, sudah berusaha ditekannya habis-habisan amarah, tetapi perlakuan Anton di kampus benar-benar menguji kesabarannya.
Anton dengan sengaja membuka rahasia Dewa yang selama ini ditutupnya rapat-rapat dari semua anak dikampus. Entah darimana Anton mendapat informasi tentang masa lalu Dewa. Masa lalu yang tak pernah ingin Dewa ingat selamanya.


“Tahu tidak teman-teman, ternyata di kelas kita ini, ada anak perempuan gila yang dulu pernah menjadi istri pejabat ternama di kota ini. Tapi karena tersandung masalah korupsi, karir pejabat itu hancur. Dia melarikan diri bersama istri simpanannya. Meninggalkan istri pertama dan anaknya yang saat itu masih SMA. Karena tidak kuasa menahan aib yang ditinggalkan mantan suaminya dan hampir semua kekayaan disita negara, perempuan itu menjadi gila. Kini dia mendekam di RS jiwa yang berada tepat dibelakang kampus kita ini.” Umum Anton siang itu saat mereka tengah berkumpul di kantin teknik.
Dewa yang sejak awal kuliah tidak pernah punya hubungan baik dengan Anton jelas menjadi sasaran tatapan ingin tahu teman-temannya. Seolah mengamini dugaan teman-temannya, Anton mengangguk dengan senyum tersungging disudut bibirnya.
“Yaaa... kalian benar. Dia adalah Dewa! Anak seorang koruptor yang membuat susah rakyatnya! Kini ibunya gila tanpa ada yang peduli padanya. Pak Presiden di kampus kita ternyata anak koruptor! Huuu... kita harus hati-hati, kalau perlu adakan tim khusus seperti KPK, siapa tahu ternyata Dewa juga mempunyai tabiat busuk seperti ayahnya. Korupsi, untuk mengobati ibunya yang gila!” Tambah Anton semakin senang.
Dewa yang sedari tadi diam, mau tidak mau tersulut amarahnya karena tidak terima ibunya dibawa-bawa. Dewa siap menerjang andaikan langkahnya tidak dikunci oleh Anwar yang sudah bisa membaca kilatan marah dimata itu.


“Memang kenapa kalau aku anak koruptor? Memang kenapa kalau aku anak orang gila? Bukankah aku masih berhak hidup normal seperti manusia biasa? Sebenarnya apa salahku dengan Anton, War?!” tanya Dewa putus asa.
Ayahnya yang sejak pertama pergi meninggalkan mereka bersama selingkuhannya tak pernah sekalipun datang menjenguk mereka. Kabarnyapun tak pernah Dewa dengar. Tapi meski laki-laki tak bertanggung jawab itu telah menghilang, namanya tetap saja dikait-kaitkan dengan kehidupan yang Dewa jalani sekarang.
Ayahnya boleh koruptor, tapi dari kecil ibu tak pernah mengajarinya melakukan perbuatan curang, menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya. Dewa terbiasa berusaha dengan kemampuannya sendiri. Bahkan sejak ditinggal ayahnya, dengan kondisi ibunya yang tak mungkin mampu membiaya hidup Dewa. Dewa terpaksa turun ke jalan, menjadi pengamen untuk mencari tambahan, pagi-pagi berjualan koran untuk biaya sekolah.
Hasil kerjanya di bengkel temannya begitu pulang kuliah dia tabung untuk biaya pengobatan ibunya. Uang bayar kostan pun, dia bagi dua dengan Anwar. Teman seperjuangan yang tahu benar bagaimana tabiat Dewa sejak pertama menginjak dunia kuliah.
“Atau aku berhenti saja kuliah disana, War?”
Anwar terperanjat mendengar gagasan Dewa. “Lantas membiarkan Anton menang dengan segala asumsinya? Maju, Wa! Buktikan pada mereka kalau kamu bersih, tanpa ada bayang-bayang ayahmu. Di tubuhmu memang mengalir darah ayahmu, tapi bukan berarti sifat buruknya mengalir juga padamu. Hidupmu, dirimu yang menentukan. Mau menjadi baik atau menjadi buruk. Dan semoga ayahmu sadar, bahwa akibat perbuatannya, bukan hanya rakyat yang menderita,  keluargapun menjadi korban. “
Dewa diam, membenarkan ucapan sahabatnya. Terlalu dini untuk menyerah.

♬♬♬

No comments:

Post a Comment