Tuesday 13 November 2018

Ayah di Mataku

Happy milad ayah...
Barakallah fii umrik.

Kemarin pagi, saat kulihat layar di HP berkedip, muncullah reminder tentang hari ulang tahun beliau, beserta 2 (dua) digit angka yang menerangkan umur beliau sekarang.
56 tahun, agak lama kutatap layar di HP, beberapa pikiran dan rencana kutepikan lebih dulu karena harus bersiap packing utk keberangkatan kembali ke kota kelahiran.
Ingin ku telepon beliau segera, mengucapkan selamat ulang tahun, dan memberikan beberapa do'a. Tapi saat kulirik arloji di pergelangan tangan kiri, aku sadar, ini jam sibuknya. Kembali kuurungkan niatku.
Selama di perjalanan pulang, aku memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan dan angka yang terus tertera di layar HP.
56 tahun, ayahku tidak lagi muda.
Aku sadar, beliau tidak se fit dulu. Tubuhnya mulai lelah, tidak jarang terkadang terserang penyakit.
Apa yang sudah kuberikan padanya selama ini?
Hanya kemanjaan yang kuingat, hanya kata-kata "anak ayah" yang kerap mereka lontarkan hingga aku menginjak dewasa seperti ini, karena kerap mengandalkan beliau untuk pergi ke mana-mana.
Aku suka, suka dengan sebutan "anak ayah", aku suka saat bergantung pada beliau, menunggu dia menjemputku sekolah, pulang kerja, kuliah, main dengan teman.
Aku tak ingin kehilangan moment saat kami terkadang sesekali bercakap tentang aktivitas dan rutinitas sepanjang perjalanan pergi atau pulang.
Aku tak ingin kehilangan moment menatap punggungnya saat aku dibonceng beliau.
Ayah...
Sosok yang penyabar, semarah apapun beliau tak pernah memukul, memilih tidur jika terlalu penat dengan masalah, memilih menghindar untuk meredakan amarah.
Terbersit ketakutan saat kutahu aku bukan lagi putri kecilmu yang bebas untuk selalu bermanja padamu. Aku akan meninggalkanmu, atau sebaliknya.
Aku takut, tidak bisa mendengarkan suaramu dibalik pintu kamar saat membangunkan kami, anakmu untuk sholat subuh.
Aku takut tidak bisa mendengar gilasan roda pagar saat kau membukanya untuk menuju masjid di waktu subuh, maghrib atau isya.
Aku takut, tidak bisa mendengar suara motormu yang memasuki pekarangan rumah.
Aku takut tidak bisa mendengar suaramu memanggil kami untuk mengingatkan makan.
Aku takut tidak bisa meminta pendapatmu untuk keputusan yang kuambil.
Aku takut tidak bisa bersamamu lagi dalam setiap langkah-langkahku.
Ada ketakutan itu, takut tak bisa kutemukan sosokmu di sana, padanya.

Ayah, orang yang supel.
Selalu mengutamakan pendidikan untuk anak-anaknya.
Mengingatkan kami untuk bersikap sederhana.
Yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam.
Yang membiarkanku memilih untuk semua keputusan yang kuhadapi.
Ketika ibu melarangku mengikuti eskul bela diri, beliau dengan santainya menjawab "biarkan saja, perempuan juga butuh ilmu bela diri untuk melindungi dirinya."
Ketika ibu melarangku ikut eskul pecinta alam, beliau dengan ringan menjawab "Biarkan saja, mungkin dia ingin jadi penjelajah." dan saat aku pulang dari diksar dalam keadaan kotor, ibu mengomel, ayah hanya berucap "gimana? Enak?" maka segera kujawab dengan cengiran, bercerita asal mula kotoran ini bisa kudapat.
Saat ibu melarangku belajar mengendarai motor, beliau dengan santai menjawab "biarkan saja, toh kalau jatuh nanti dia juga kapok." alhasil aku memecahkan kaca spion akibat nekat belajar sendiri, sementara ibu kembali mengomel, ayah cuma geleng-geleng kepala.
Ayah mengerti jiwa bebasku, keras kepalaku. Saat aku protes kenapa tidak membiarkan adik mandiri seperti aku, beliau hanya menjawab "dia tidak akan sanggup sepertimu." maka saat itu juga aku bungkam.
Ayah yang akan bertanya bagaimana sekolahmu, materi apa yang kau dapatkan, ilmu apa yang kau pelajari, PR apa yang belum kau kerjakan. Pertanyaan yang kerap beliau sampaikan saat aku kecil dan pulang sekolah.
Meski sekarang kami jarang bercakap, tapi aku tahu ayah masih peduli.
Tak jarang kudapati pakaianku sudah terlipat rapi di atas tempat tidur saat pulang kerja, karena beliau biasanya menyempatkan diri mencuci baju saat senggang.
Atau terkadang rusuh di dapur pagi2 menyiapkan sarapan jika kami ada kegiatan tambahan di luar, sekaligus menyiapkan bekal.
Kalah rusuh dengan ibu yang tengah mengaji.
Bahkan saat aku berangkat, saat tangan itu mengulurkan uang saku tambahan, kutolak dengan halus.
Sempat kulihat tangannya yang semakin kurus.
Siapkah aku berpisah dengannya?
Aku berhitung, mengingat usia beliau yang tidak bisa dibilang muda lagi, mengingat ceramah tentang rata-rata umur orang-orang di Indonesia.
Siapkah aku?
Tidak, kuharap ayah selalu berumur panjang dan selalu diberi kesehatan oleh Allah.
Jaga beliau ya Rabb-ku. Layaknya beliau menjagaku, putri ketiganya sejak kecil.
Putrimu ini, masih ingin bermanja padamu ayah.
Masih ingin mendengar omelanmu, suaramu.
Ayah sangat sederhana.
Jika dari ibu aku menjadi sosok yang dingin dan tegas.
Dari ayah aku menjadi sosok yang selalu mengevaluasi untuk semua keputusan yang kubuat. Dari ayah aku belajar mempertanggungjawabkan semua keputusanku, bersiap dengan semua konsekuensinya.
Karena ayah sudah mengajarkanku sejak kecil, dengan membiarkanku memilih, beliau hanya memberi gambaran singkat untuk hal-hal apa yang akan kuhadapi selanjutnya.
Ayah tidak akan melarang kami, selagi kami bisa memberikan argumen yang tepat dan bertanggung jawab dalam semua keputusan, baik ataupun buruk hasilnya kelak, kami harus menghadapinya.
Jika sebagian orang mulai nyinyir karena aku masih tetap merepotkan ayah diusia ini, maka satu jawabanku "Aku hanya ingin berhutang budi pada beliau, untuk kemudian biarkan aku membalasnya seumur hidupku."
Ayah...
Maaf aku gagal untuk kali ini, tapi masih ada sedikit harapan. Di antara sedikit itu, aku harap masih bisa memenuhi inginmu.
Maaf aku tak bisa mengatakan semuanya langsung, aku takut tak akan ada kata yang keluar dari mulutku jika berhadapan denganmu. Bukan aku gentar menghadapmu, aku khawatir tak mampu menahan air mataku untuk mengatakan semuanya.
Selalu sehat ayah, selalu kuat, panjang umur. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu.
Dan aku... Tetaplah putri kecilmu, tak ada yang berubah.

Untukmu, siapapun yang akan mendampingiku, inilah sebagian dari ketakutanku.
Ketika aku jauh dari ayahku, aku takut tak kudapati sosoknya dalam dirimu. Tak mesti utuh, mnimal bimbing aku dengan sabar.