Tuesday 13 November 2018

Ayah di Mataku

Happy milad ayah...
Barakallah fii umrik.

Kemarin pagi, saat kulihat layar di HP berkedip, muncullah reminder tentang hari ulang tahun beliau, beserta 2 (dua) digit angka yang menerangkan umur beliau sekarang.
56 tahun, agak lama kutatap layar di HP, beberapa pikiran dan rencana kutepikan lebih dulu karena harus bersiap packing utk keberangkatan kembali ke kota kelahiran.
Ingin ku telepon beliau segera, mengucapkan selamat ulang tahun, dan memberikan beberapa do'a. Tapi saat kulirik arloji di pergelangan tangan kiri, aku sadar, ini jam sibuknya. Kembali kuurungkan niatku.
Selama di perjalanan pulang, aku memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan dan angka yang terus tertera di layar HP.
56 tahun, ayahku tidak lagi muda.
Aku sadar, beliau tidak se fit dulu. Tubuhnya mulai lelah, tidak jarang terkadang terserang penyakit.
Apa yang sudah kuberikan padanya selama ini?
Hanya kemanjaan yang kuingat, hanya kata-kata "anak ayah" yang kerap mereka lontarkan hingga aku menginjak dewasa seperti ini, karena kerap mengandalkan beliau untuk pergi ke mana-mana.
Aku suka, suka dengan sebutan "anak ayah", aku suka saat bergantung pada beliau, menunggu dia menjemputku sekolah, pulang kerja, kuliah, main dengan teman.
Aku tak ingin kehilangan moment saat kami terkadang sesekali bercakap tentang aktivitas dan rutinitas sepanjang perjalanan pergi atau pulang.
Aku tak ingin kehilangan moment menatap punggungnya saat aku dibonceng beliau.
Ayah...
Sosok yang penyabar, semarah apapun beliau tak pernah memukul, memilih tidur jika terlalu penat dengan masalah, memilih menghindar untuk meredakan amarah.
Terbersit ketakutan saat kutahu aku bukan lagi putri kecilmu yang bebas untuk selalu bermanja padamu. Aku akan meninggalkanmu, atau sebaliknya.
Aku takut, tidak bisa mendengarkan suaramu dibalik pintu kamar saat membangunkan kami, anakmu untuk sholat subuh.
Aku takut tidak bisa mendengar gilasan roda pagar saat kau membukanya untuk menuju masjid di waktu subuh, maghrib atau isya.
Aku takut, tidak bisa mendengar suara motormu yang memasuki pekarangan rumah.
Aku takut tidak bisa mendengar suaramu memanggil kami untuk mengingatkan makan.
Aku takut tidak bisa meminta pendapatmu untuk keputusan yang kuambil.
Aku takut tidak bisa bersamamu lagi dalam setiap langkah-langkahku.
Ada ketakutan itu, takut tak bisa kutemukan sosokmu di sana, padanya.

Ayah, orang yang supel.
Selalu mengutamakan pendidikan untuk anak-anaknya.
Mengingatkan kami untuk bersikap sederhana.
Yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam.
Yang membiarkanku memilih untuk semua keputusan yang kuhadapi.
Ketika ibu melarangku mengikuti eskul bela diri, beliau dengan santainya menjawab "biarkan saja, perempuan juga butuh ilmu bela diri untuk melindungi dirinya."
Ketika ibu melarangku ikut eskul pecinta alam, beliau dengan ringan menjawab "Biarkan saja, mungkin dia ingin jadi penjelajah." dan saat aku pulang dari diksar dalam keadaan kotor, ibu mengomel, ayah hanya berucap "gimana? Enak?" maka segera kujawab dengan cengiran, bercerita asal mula kotoran ini bisa kudapat.
Saat ibu melarangku belajar mengendarai motor, beliau dengan santai menjawab "biarkan saja, toh kalau jatuh nanti dia juga kapok." alhasil aku memecahkan kaca spion akibat nekat belajar sendiri, sementara ibu kembali mengomel, ayah cuma geleng-geleng kepala.
Ayah mengerti jiwa bebasku, keras kepalaku. Saat aku protes kenapa tidak membiarkan adik mandiri seperti aku, beliau hanya menjawab "dia tidak akan sanggup sepertimu." maka saat itu juga aku bungkam.
Ayah yang akan bertanya bagaimana sekolahmu, materi apa yang kau dapatkan, ilmu apa yang kau pelajari, PR apa yang belum kau kerjakan. Pertanyaan yang kerap beliau sampaikan saat aku kecil dan pulang sekolah.
Meski sekarang kami jarang bercakap, tapi aku tahu ayah masih peduli.
Tak jarang kudapati pakaianku sudah terlipat rapi di atas tempat tidur saat pulang kerja, karena beliau biasanya menyempatkan diri mencuci baju saat senggang.
Atau terkadang rusuh di dapur pagi2 menyiapkan sarapan jika kami ada kegiatan tambahan di luar, sekaligus menyiapkan bekal.
Kalah rusuh dengan ibu yang tengah mengaji.
Bahkan saat aku berangkat, saat tangan itu mengulurkan uang saku tambahan, kutolak dengan halus.
Sempat kulihat tangannya yang semakin kurus.
Siapkah aku berpisah dengannya?
Aku berhitung, mengingat usia beliau yang tidak bisa dibilang muda lagi, mengingat ceramah tentang rata-rata umur orang-orang di Indonesia.
Siapkah aku?
Tidak, kuharap ayah selalu berumur panjang dan selalu diberi kesehatan oleh Allah.
Jaga beliau ya Rabb-ku. Layaknya beliau menjagaku, putri ketiganya sejak kecil.
Putrimu ini, masih ingin bermanja padamu ayah.
Masih ingin mendengar omelanmu, suaramu.
Ayah sangat sederhana.
Jika dari ibu aku menjadi sosok yang dingin dan tegas.
Dari ayah aku menjadi sosok yang selalu mengevaluasi untuk semua keputusan yang kubuat. Dari ayah aku belajar mempertanggungjawabkan semua keputusanku, bersiap dengan semua konsekuensinya.
Karena ayah sudah mengajarkanku sejak kecil, dengan membiarkanku memilih, beliau hanya memberi gambaran singkat untuk hal-hal apa yang akan kuhadapi selanjutnya.
Ayah tidak akan melarang kami, selagi kami bisa memberikan argumen yang tepat dan bertanggung jawab dalam semua keputusan, baik ataupun buruk hasilnya kelak, kami harus menghadapinya.
Jika sebagian orang mulai nyinyir karena aku masih tetap merepotkan ayah diusia ini, maka satu jawabanku "Aku hanya ingin berhutang budi pada beliau, untuk kemudian biarkan aku membalasnya seumur hidupku."
Ayah...
Maaf aku gagal untuk kali ini, tapi masih ada sedikit harapan. Di antara sedikit itu, aku harap masih bisa memenuhi inginmu.
Maaf aku tak bisa mengatakan semuanya langsung, aku takut tak akan ada kata yang keluar dari mulutku jika berhadapan denganmu. Bukan aku gentar menghadapmu, aku khawatir tak mampu menahan air mataku untuk mengatakan semuanya.
Selalu sehat ayah, selalu kuat, panjang umur. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu.
Dan aku... Tetaplah putri kecilmu, tak ada yang berubah.

Untukmu, siapapun yang akan mendampingiku, inilah sebagian dari ketakutanku.
Ketika aku jauh dari ayahku, aku takut tak kudapati sosoknya dalam dirimu. Tak mesti utuh, mnimal bimbing aku dengan sabar.

Monday 18 June 2018

Jangan Biarkan Isi Hatimu Berserakan di Semua Tempat


Hati manusia adalah gudang semua rasa. Senang, sedih, kecewa, marah, terharu, rindu, dan masih banyak lagi rasa yang akan muncul di sana selama seseorang itu masih bernyawa. Sudah tak bernyawapun masih memiliki rasa, takut atau bahagia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di dunia.
Tak jarang kita dapati berbagai ungkapan isi hati muncul di beranda media sosial. Dari hal sepele sampai yang rumit.
Saat jatuh cinta. Siapapun pasti pernah diserang oleh virus merah jambu ini. Berbagai ungkapan dan kalimat penyair berusaha menggambarkan 'wajah' dari sang cinta.
Maka akan kita dapati status-status ungkapan cinta, rindu, sayang, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang sang gebetan atau si doi langsung di tag biar orang tau siapa yang dia maksud, atau ingin pengakuan atas kepemilikan, entah itu sudah sah atau belum. Lalu muncullah komentar ucapan selamat, do'a, pemalakan, dll.
Saat marah, maka sumpah serapah dan caci maki juga akan muncul di beranda. Kurang puas main sindir, tag langsung orangnya. Rusuhlah komentar dari status itu, bukan hanya dari mereka yang berseteru, tapi terkadang kita dan orang-orang luar yang tidak terlibat ikut rusuh. Nimbrung tanpa tau perkara aslinya bagaimana. Menghujat atas yang benar dan salah. Kalah heboh dari sang hakim yang memutuskan suatu perkara.
Saat sedih atau kecewa. Kalimat mendayu dan penuh keluh-kesah. Kita merasa kitalah korban atas ketidak adilan atau musibah yang terjadi. Kurang afdol hanya dengan kata-kata, upload foto dengan mata yang berlinang air mata, dan hidung merah. Maka muncullah ucapan belasungkawa yang entah sekedar basa-basi atau memang tulus adanya.
Termasuk hal remeh temeh lainnya. Habis mandi, "cekrik" foto dengan berbagai macam gaya tapi wajah tetap sama. Melamun, bosan, "Cekrik" upload foto lebih dari 3 dengan caption yang dibuat semenarik mungkin. Bahkan saat belajar, dan hal-hal tidak penting lainnya. Bisa upload entah itu status atau foto dengan rentang waktu yang singkat dalam sehari.
Pun begitu saat patah hati, berhasil meraih sesuatu, dan semua rasa yang kita rasakan tak luput kita share di media sosial.
Boleh jadi, sekedar dijadikan moment untuk mengenang masa. Boleh jadi merasa semua orang wajib tahu apa yang kita rasakan, pun boleh jadi kurang kerjaan.
Apapun alasannya, memang itu hak kita. Medsos punya kita, bodo amat orang mau bilang apa. Benar, statement ini tidak salah. Tapi jika kita mau sedikit saja berfikir, hanya sedikit, kalau banyak nanti otak kalian tidak sanggup. Apakah semua orang yang nimbrung di status kita mengatakan yang sebenarnya? Apakah mereka yang berkomentar dengan keluh kesah kita benar-benar sepeduli itu, atau hanya basa-basi? Mungkin kita merasa senang dengan jumlah 'like' dan 'coment' yang berjibun, merasa semua orang memperhatikan kita. Tapi... Adakah dari mereka yang mengucapkan kalimat basa-basi, benar-benar hadir di sisi kita untuk menghibur, merangkul di saat sedih, ikut tertawa di saat kita bahagia? Apakah mereka yang membela kita saat kita bertengkar di dunia maya benar-benar mendukung kita? Tidak, jikapun ada biasanya itu teman kita yang sebenarnya. Dan, orang yang benar-benar peduli tidak akan menanyakan hal basa-basi, melainkan langsung datang, menghubungi, bertanya cemas, ikut sedih, bahkan ikut bahagia bersama kita. Bukan hanya melontarkan komentar basa-basi.
Apakah setelah kita mengeluarkan isi hati di medsos semua permasalahan selesai? Tidak. Masalah justru akan merembet kemana-mana. Sebagai contoh, kita punya masalah dengan seseorang, bertengkar. Rusuh di medsos komentar-komentar pro dan kontra. Yang harusnya masalah hanya melibatkan 2 orang, akhirnya teman, kerabat, bahkan orang yang tidak kita kenal ikut berdebat. Bukannya menyelesaikan masalah, malah memperkeruh, memanasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang lebih emosi dari kita. Alhasil jadilah ladang penebar kebencian medsos kita.
Masalah lain, saat jatuh cinta kita rusuh membuat status, baru jadian heboh upload foto mesra, bahkan kalah mesra dengan kakek nenek kita yang sudah bersama puluhan tahun. Mengobral kata cinta ke mana-mana, melempar kata sayang dan rindu sedemikian rupa. Tiap menit bahkan detik. Takut sekali dia tidak tahu kalau kita menyukainya, sedangkan hakikatnya cinta itu bukan melalui kata-kata. Justru ketika semakin sering diucapkan akan terasa hambar, tak bermakna. Jangan-jangan malah mengaburkan makna sejatinya. Meyakinkan hati bahwa itu cinta, sedangkan kita sendiri bingung apa itu cinta. Ngotot sekali bahwa itu cinta.
Lalu, saat patah hati, putus. Rusuhlah kita menghapus semua kenangan, sambil berlinangan air mata. Aduh.... Ribet sekali perkara hati ini.
Ini sebagian ada dalam status yang dibuat oleh bang Tere, penulis favorite saya. Tapi saya setuju dengan argumentnya.
Sekali lagi, jika kita mau berfikir. Tidak semua orang yang tidak ikut nimbrung di status kita itu memang tidak peduli. Justru mereka bersikap tidak peduli karena terlalu merasa terganggu dengan status-status yang kita buat. Bisa jadi malah gebetan atau doi yang kita incar merasa ilfil dengan ulah kita.
Jika orang yang sedikit waras, akan berfikir ulang saat melihat gebetannya mengeluarkan makian dan sumpah serapah yang menakjubkan. Tidak menutup kemungkinan kalimat itu akan dia lontarkan pada kita. Belum lagi jika kita sibuk mengeluh tentang hidup kita, kita bisa saja di cap tukang pengeluh. Aduh... Jangan terlalu merasa bahwa sosmed itu sepenuhnya hak kalian. Ada orang yang melihat, teman, guru, dosen, keluarga, orang-orang tidak kenal yang berteman di dunia maya. Bagaimana mungkin mau kita tunjukkan semua kekurangan kita, kelebihan kita.
Bahkan beberapa penelitian membuktikan, orang-orang yang benar-benar bahagia atas hidupnya justru tidak banyak membagikannya di media sosial. Menjadikan moment itu tetap berharga untuknya dan orang-orang yang bersamanya. Jikapun diabadikan, akan tersimpan rapi dalam album kenangannya. Sehingga bisa dia nikmati kapan saja jika dia mau. Termasuk hal-hal membanggakan lainnya, tak perlu semua diumbar, biarkan orang lain yang melihat sendiri, tidak perlu diperlihatkan secara berlebihan. Mereka yang bijak, yang benar-benar luas wawasannya, tak pernah rusuh jepret sana sini untuk menunjukkan prestasinya, tapi dunia dengan sendirinya menjepret dan mengabadikan prestasinya. Mereka yang benar-benar dermawan ahli ibadah, tidak akan rusuh jepret sana sini, update status sana sini untuk menunjukkan betapa dermawan dan ahlinya dia beribadah, dia rahasiakan, sadar jika penonton dan pembalas terbaik adalah penciptanya. Apalagi sampai selfie kalau lagi ngaji atau sholat. Kalaupun ada yang terjepret kamera, itu bukan keinginan mereka, melainkan oeang lain yang ingin mengetuk hati sesama untuk berbuat baik juga.
Untuk kita yang punya masalah, entah skala kecil atau besar. Bagi mereka yang mengerti arti privasi dalam hidup, akan menyimpannya rapat-rapat. Termasuk masalah orang lain yang sengaja atau tidak dia ketahui. Jika kita saja tidak bisa menyimpan aib kita sendiri, tidak bisa menjaga rahasia kita sendiri, bagaimana bisa kita menyimpan rahasia dan aib orang lain? Maka orang yag melihat akan berfikir ulang untuk dekat dengan kita.
Jika memang sudah tidak sanggup memendam semua perasaan sendiri, kita boleh mengungkapkan. Tidak ada yang melarang, lagipula siapa pula yang bisa melarang jika yang merasakannya kita sendiri. Hanya saja, cari tempat menyalurkan yang baik. Tidak semua orang yang bertanya "Ada apa" benar-benar peduli, terkadang ini hanya kalimat basa-basi atau kalimat dari mereka yang sekedar kepo dengan hidup kita, untuk akhirnya hanya melontarkan kata-kata basa-basi setelah mendengarkan cerita versi lengkap dari kita.
Hubungi teman, teman yang jelas-jelas kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Orang-orang yang bisa menjelek-jelekkan orang lain di depan kita, tidak menutup kemungkinan bisa melakukan hal yang sama kepada kita di belakang kita.
Tidak memiliki teman yang dipercaya? Tuangkan semua isi hatimu di kertas, penuhi kertas itu dengan isi hatimu. Takut ada yang membaca, bisa langsung kalian bakar. Malas menulis? Maka tidak ada tempat curhat yang paling baik selain di atas sajadah. Menangislah sesuka hatimu, mengadulah semua masalahmu. Maka kita akan merasakan ketenangan. 'Dia', tidak pernah meninggalkan kita. 'Dia' tidak pernah iseng  bercerita ke makhluk lain tentang keluh kesah kita, bahkan dengan kuasa-Nya akan membantu kita. Bantuan yang lebih dahsyat dan di luar kuasa semua makhluk-Nya.
Cobalah, kita harus mencoba untuk menjadi pribadi yang terbiasa menyelesaikan semua masalah sendiri. Jadilah orang yang mandiri. Jangan terlalu bergantung pada orang lain, karena tak selamanya mereka akan berada di sisi kita. Mereka akan pergi, entah pergi karena menemukan yang lain, bosan, atau karena kematian. Maka tempat bergantung sebaik-baiknya adalah kepada 'Dia'. 'Dia' tidak pernah meninggalkan kita, namun kitalah yang senantiasa menjauh, lupa bahkan sengaja melupakan 'Dia'.
Tapi bukan berarti saya melarang kalian untuk menshare atau menulis apapun di medsos. Boleh, sungguh boleh. Hanya saja, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih mana yang baik dan tidak. Apakah bermanfaat atau tidak. And last... Saya suka menjadi tempat orang bercerita. Menyenangkan saat mendengarkan seseorang bercerita, memberikan masukan. Insya Allah terjaga rahasia.

Friday 23 March 2018

"Aku Tahu", Sebuah Kalimat yang Menutup Masuknya Ilmu

"Aku tahu", sebuah kata yang sering kita dengar atau mungkin sering kita ucapkan saat mendengar seseorang mengatakan sesuatu yang kita sudah tahu. Ini biasa kita lakukan untuk sekedar memutuskan rasa bosan atau untuk menghentikan percakapan yang kita sendiri sudah tahu ke mana arahnya. Mungkin kita berfikir "Untuk apa buang-buang waktu jika kita sudah tahu yang hendak dikatakan orang tersebut?". Atau, mungkin saja ada saat kita merasa tidak terima atas informasi atau ilmu yang kita peroleh dari seseorang yang pendidikannya lebih rendah dari kita, semacam perasaan gengsi, merasa direndahkan. Maka dengan rasa tinggi hati, kita memutuskan untuk mengatakan, "Aku tahu".
Hei, tidakkah terpikir oleh kita jika orang-orang yang pintar bahkan lebih jenius dari kita adalah orang-orang yang mau membuang-buang waktu untuk mendengarkan informasi yang sekalipun dia sudah tahu, tetap disimaknya dengan saksama. Fokus betul menyerap kata demi kata yang diterima, bahkan tidak jarang membawa catatan untuk mencatat informasi yang dia dapatkan. Tidak, saya tidak sedang mengarang karena saya sendiri tahu informsi tentang kegiatan ini dari mantan atasan saya. Dia termasuk orang yang sukses menurut saya. Beliau mengatakan hal ini di suatu waktu saat memberikan pengarahan.
Beliau memberikan contoh Bapak B.J. Habibie yang melakukan kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas, terlepas dari apakah beliau benar-benar bertemu dan melihat langsung yang dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie. Yang pasti, beliau mengatakan "Orang sejenius B.J. Habibie saja mau membuang waktu untuk menyimak informasi yang diberikan orang lain untuk kemudian dia catat seolah-olah dia benar-benar haus akan ilmu dan dia tidak tahu apapun. Padahal, boleh jadi lawan bicaranya hanya membual atau boleh jadi dia sudah tahu informasi itu, bahkan bisa saja semua orang juga sudah tahu karena informasi yang didapatkan adalah informasi yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Tapi, dia tetap mencatat, menyimak. Tanpa memandang apakah lawan bicara pendidikannya lebih rendah atau lebih tinggi dari dia. Padahal bisa saja dia menyela, memotong obrolan dengan mengatakan 'aku tahu' untuk memangkas waktu yang terbuang sia-sia.
Itu baru satu contoh yang saya dapatkan dari mantan atasan saya, mungkin masih banyak orang-orang jenius lain yang melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie.
Lalu bagaimana kalau berita itu bohong? Itu point pentingnya. Orang yang cerdas akan menelaah kembali informasi yang dia dengar untuk kemudian dia cari kebenarannya. Tidak lantas menelan bulat-bulat informasi itu bahkan mengamini bahwa informasi tersebut adalah benar untuk kemudian dia sebarluaskan kepasa masyarakat luas. Orang-orang cerdas akan meneliti kembali, mencari kebenaran. Setelah dia tahu bahwa informasi itu benar, maka boleh jadi akan dia sebarluaskan kepada orang lain, jika informasi itu menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersifat publik. Jika bersifat pribadi, bisa dia terapkan untuk dirinya sendiri guna membantu riset, penelitian, uji coba yang sedang dia kerjakan.
Lalu timbul lagi pertanyaan, "Apa hubungannya dengan kata 'Aku tahu'?". 
Kita ambil lagi sebuah contoh, Bapak B.J. Habibie tadi misalnya. Jika Bapak B.J. Habibie mengatakan "Aku tahu" atau kita sendiri yang mengatakannya. Otomatis saat itu juga lawan bicara berhenti memberikan informasi. Kita merasa sudah tahu informasi itu cukup dengan mendengar kalimat pembukanya saja dan mengambil kesimpulan kalimat penutup pasti akan sama, lantas dengan mudahnya kita mengatakan "Aku tahu". Sadar atau tidak saat kita melontarkan kalimat itu, saat itu kita memutus akses masuknya ilmu pengetahuan yang baru.
Siapa tahu kalimat akhir seseorang akan berbeda dengan orang lain meskipun kalimat awalnya sama. Karena kita mengatakan "Aku tahu", saat itu juga kita gagal mendapatkan informasi baru. Jika memang, informasi yang kita terima sama persis dari awal sampai akhir. Tidak mengapa, anggap saja kita mengingat kembali. Biasakan untuk mendengarkan informasi sampai habis. Selesai, jika masih bingung, kita bisa bertanya meminta penjelasan untuk kemudian memperoleh informasi lain lagi. Jika memang sudah paham betul dan sudah tahu. Anggap saja melatih bersikap sopan dengan lawan bicara. Bukankah tidak sopan memotong ucapan seseorang dengan kata-kata "Aku tahu". Melenyapkan mood lawan bicara, bahkan.bisa jadi lawan bicara akan tersinggung.
Tidak mengapa, meskipun lawan bicara pendidikannya lebih rendah dari kita. Siapa tahu, dia mendapatkan informasi dari pejabat tinggi, orang terpercaya, atau bisa jadi lawan bicara kita adalah agen FBI yang sedang menyamar. Siapa tahu?
Banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di sekitar kita. Biasakan untuk tidak menganggap remeh informasi yang kita terima, toh tidak ada ruginya. Lagi, perlu diselidiki kebenarannya, jangan asal terima. Bisa gawat kalau kita akhirnya dituntut karena dituduh memberikan informasi bohong atau hoax. So, jadilah penyimak yang cerdas.

Monday 12 February 2018

Budaya Mengumpat


 
Mengumpat, mencaci, memaki. Yah... Sejenis. Intinya mengeluarkan kata-kata kasar untuk mewakili emosi. Jengkel, kesal, marah, ataupun benci. Maka keluarlah semua jenis makhluk halus, penghuni kebun binatang, sampai maaf kadang melibatkan anggota tubuh di mana merupakan bagian paling memalukan untuk disebutkan.
Terkadang saya pribadi kasian pada makhluk halus yang disebut, yah... contohnya iblis, mereka memang jahat, tapi apakah kita pernah memikirkan perasaan si iblis saat kita mencaplok nama iblis tanpa izin.
Contoh:
"Dasar iblis! Enyah kau dari tempat ini. Bang**t!!!!"
See? Yang kita marahi adalah seorang manusia, yah... Mungkin menyerupai iblis. Tapi kan bukan iblis beneran. Dan... Kata terakhirpun kerap kita dengar. Ada juga sejenis, "baji**an, p**ek, dll."
Baiklah... Jika dilontarkan dalam intensitas emosi yang tinggi karena marah, mungkin bisa ditoleransi. Mungkin...
Kita turunkan sedikit intensitasnya, dalam percakapan sehari-hari, obrolan ringan. Saya ambil dari contoh percakapan yang pernah saya dengar.
Ada segerombolan anak muda berbincang ringan, semua gender gabung di sini. Tidak juga transgender ya, tapi saya juga tidak memastikan kehadirannya. Kira-kira begini obrolannya:
A : eh, gue jadian sama bunga* (*nama samaran)
B : weh... Pake pelet apa lu, nyet? (Apalah salah si monyet)
A : Tai! Dia murni suka ama gue, anj**g!
C : sialan! Breng**k lo. Ni kutu kupret akhirnya lepas masa jomblo.
Dst...
Saya ambil bagian pentingnya saja. Itu obrolan ringan, tapi tetap saja ada kata makian, sampai saya bingung. Mereka sedang ngobrol atau lagi ngabsen isi kebun binatang. Nanggung absen aja semua tuh penghuni kebun binatang biar ramai, bahkan kotoranpun ikut andil dalam percakapan itu. Ckckck...
Tidak hanya dalam percakapan langsung, di grup chat, medsos. Kata-kata makian ini kerap terlihat, terhaca. Seliweran di beranda, di obrolan grup. Yang notabanenya terkadang grup chat di dumay adalah gabungan dari semua umur, termasuk bocah SD juga ada, dan mirisnya mereka juga ikut menggunakan kata makian seolah tanpa beban.
Saya pribadu agak risih mendegar atau membaca kata-kata seperti itu, karena saya sendiri berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu.
Kadang bukan lagi jadi hal aneh di mana orang tua dan anak saat berdebat saling melontarkan kata makian dan cacian. Semoga keluarga kita tidak.
Jika dilakukan oleh orang dewasa mungkin kita agak maklum, lagi-lagi mungkin.
Lantas, bagaimana jika diucapkan oleh bocah-bocah yang masih kecil. Anak SD kelas 3, bahkan sudah terdengar santai mengucapkan kata-kata makian saat bermain dengan teman-teman sebayanya. Jika kebetulan ada orang tua saya, dijamin mereka akan dapat teguran keras dari ayah ataupun ibuku.
Terkadang jika kita tanya, mereka sendiri tidak mengerti apa arti dari kata makian itu, hanya terbiasa mendengar, lantas meniru dan menjadi terbiasa. Fenomena yang menyedihkan. Saya sendiri untuk mengatakan kata "bodoh" lebih memilih kata "pintar" tentu dengan penekanan dan ekspresi wajah yang berbeda untuk mengatakannya agar mereka mengerti. Diucapkan dengan senyum sedemikian manis agar mereka tidak terlalu sakit hati.
Entah, kapan fenomena mengumpat atau memaki ini akan berhenti. Pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk kebiasaan yang tidak baik ini. Keluarga? Pergaulan? Semua ikut andil.
Jadi, ada baiknya kita mulai dari diri kita sendiri, untuk kemudian mengajarkan kepada adik-adik atau orang di sekitar kita untuk bahwa mengumpat itu tidak baik. Menegur dengan halus jika memang terdengar.
Jangan sampai mereka, terutama generasi penerus kita menyangka jika kata-kata itu adalah sesuatu yang wajar untuk diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Karena menurutku, tak ada untungnya dari mengumpat/memaki. Telinga risih mendengarnya, mata sakit membacanya, malaikat pencatat amal keburukan geleng-geleng kepala sambil mencatat di bukunya. Right? Semoga kita bisa mengurangi kebiasaan ini.