Monday 12 February 2018

Budaya Mengumpat


 
Mengumpat, mencaci, memaki. Yah... Sejenis. Intinya mengeluarkan kata-kata kasar untuk mewakili emosi. Jengkel, kesal, marah, ataupun benci. Maka keluarlah semua jenis makhluk halus, penghuni kebun binatang, sampai maaf kadang melibatkan anggota tubuh di mana merupakan bagian paling memalukan untuk disebutkan.
Terkadang saya pribadi kasian pada makhluk halus yang disebut, yah... contohnya iblis, mereka memang jahat, tapi apakah kita pernah memikirkan perasaan si iblis saat kita mencaplok nama iblis tanpa izin.
Contoh:
"Dasar iblis! Enyah kau dari tempat ini. Bang**t!!!!"
See? Yang kita marahi adalah seorang manusia, yah... Mungkin menyerupai iblis. Tapi kan bukan iblis beneran. Dan... Kata terakhirpun kerap kita dengar. Ada juga sejenis, "baji**an, p**ek, dll."
Baiklah... Jika dilontarkan dalam intensitas emosi yang tinggi karena marah, mungkin bisa ditoleransi. Mungkin...
Kita turunkan sedikit intensitasnya, dalam percakapan sehari-hari, obrolan ringan. Saya ambil dari contoh percakapan yang pernah saya dengar.
Ada segerombolan anak muda berbincang ringan, semua gender gabung di sini. Tidak juga transgender ya, tapi saya juga tidak memastikan kehadirannya. Kira-kira begini obrolannya:
A : eh, gue jadian sama bunga* (*nama samaran)
B : weh... Pake pelet apa lu, nyet? (Apalah salah si monyet)
A : Tai! Dia murni suka ama gue, anj**g!
C : sialan! Breng**k lo. Ni kutu kupret akhirnya lepas masa jomblo.
Dst...
Saya ambil bagian pentingnya saja. Itu obrolan ringan, tapi tetap saja ada kata makian, sampai saya bingung. Mereka sedang ngobrol atau lagi ngabsen isi kebun binatang. Nanggung absen aja semua tuh penghuni kebun binatang biar ramai, bahkan kotoranpun ikut andil dalam percakapan itu. Ckckck...
Tidak hanya dalam percakapan langsung, di grup chat, medsos. Kata-kata makian ini kerap terlihat, terhaca. Seliweran di beranda, di obrolan grup. Yang notabanenya terkadang grup chat di dumay adalah gabungan dari semua umur, termasuk bocah SD juga ada, dan mirisnya mereka juga ikut menggunakan kata makian seolah tanpa beban.
Saya pribadu agak risih mendegar atau membaca kata-kata seperti itu, karena saya sendiri berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu.
Kadang bukan lagi jadi hal aneh di mana orang tua dan anak saat berdebat saling melontarkan kata makian dan cacian. Semoga keluarga kita tidak.
Jika dilakukan oleh orang dewasa mungkin kita agak maklum, lagi-lagi mungkin.
Lantas, bagaimana jika diucapkan oleh bocah-bocah yang masih kecil. Anak SD kelas 3, bahkan sudah terdengar santai mengucapkan kata-kata makian saat bermain dengan teman-teman sebayanya. Jika kebetulan ada orang tua saya, dijamin mereka akan dapat teguran keras dari ayah ataupun ibuku.
Terkadang jika kita tanya, mereka sendiri tidak mengerti apa arti dari kata makian itu, hanya terbiasa mendengar, lantas meniru dan menjadi terbiasa. Fenomena yang menyedihkan. Saya sendiri untuk mengatakan kata "bodoh" lebih memilih kata "pintar" tentu dengan penekanan dan ekspresi wajah yang berbeda untuk mengatakannya agar mereka mengerti. Diucapkan dengan senyum sedemikian manis agar mereka tidak terlalu sakit hati.
Entah, kapan fenomena mengumpat atau memaki ini akan berhenti. Pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk kebiasaan yang tidak baik ini. Keluarga? Pergaulan? Semua ikut andil.
Jadi, ada baiknya kita mulai dari diri kita sendiri, untuk kemudian mengajarkan kepada adik-adik atau orang di sekitar kita untuk bahwa mengumpat itu tidak baik. Menegur dengan halus jika memang terdengar.
Jangan sampai mereka, terutama generasi penerus kita menyangka jika kata-kata itu adalah sesuatu yang wajar untuk diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Karena menurutku, tak ada untungnya dari mengumpat/memaki. Telinga risih mendengarnya, mata sakit membacanya, malaikat pencatat amal keburukan geleng-geleng kepala sambil mencatat di bukunya. Right? Semoga kita bisa mengurangi kebiasaan ini.