Saturday 3 September 2016

Terima Kasih untuk Semua

Aku ingin mengucapkan terima untuk semua. Terima kasih Tuhan, terima kasih guruku, terima kasih orang tuaku, terima kasih sahabatku, dan terima kasih cinta nya.

Mungkin kalian bertanya, lulus udah April kemarin, tapi ngeshare foto plus tulisan tentang wisuda baru sekarang.
Alasannya simple, aku tidak suka dengan hal yang biasa saja. Ini memang bukan sesuatu yang patut dibanggakan secara berlebihan, tapi aku ingin memberi ruang spesial untuk semua orang yang terlibat dalam proses ini.

Seperti yang kalian lihat, ucapan terima kasihku benar-benar irit. Bukannya nggak mau lebih, tapi ada beberapa faktor yang membuatku harus mengirit ucapan terima kasih. :D

Itulah alasan aku menulis di blog pribadi untuk menambahkan nama-nama di belakang layar (ceilah bahasa gue...) yang tidak terekspos di skripsiku.


Ucapan terima kasih spesial untuk ...

1.    Tuhanku
Tentunya Allah SWT yang selalu dan selalu sayang denganku. PD bener... Ya iyalah... kalau Allah nggak sayang sama aku, aku nggak akan menjadi seperti sekarang. Susah senang, suka duka, tangis tawa, semua warna, semua rasa, semua cerita yang kulalui tentu atas kehendak Allah.
Aku benar-benar bersyukur dilahirkan sebagai seorang muslim. Meski masih awam, tapi aku tahu, Islam itu agama yang terbaik (menurutku sebagai orang Islam, ini bukan diskriminasi terhadap agama lain, agama lain tentu menganggap agama mereka yang terbaik).
Ketika aku sedih, Allah hadir. Dia mengingatkanku untuk tidak menyerah dengan kehidupan. Dia mengingatkanku untuk tetap kuat, meski kadang bingung dalam menentukan pilihan. Tak ada kata menyerah, Allah tak suka saat aku menyerah.
Dia membantuku, memberiku akal dan otak untuk berfikir. Memberi banyak pilihan tentunya dengan resiko yang akan kuterima. Tapi karena rasa sayangnya, Dia membantuku untuk memilih. Memilih jalan yang paling kecil resikonya melalui perantara pikiran dan akalku. Memberikan alternatif lain saat resiko itu hadir dalam pilihanku. Aku tak pernah takut dalam mengambil keputusan, selagi aku menyertakan Rabb-ku, insya Allah aku tidak salah.
Masalah, banyak yang mengeluh akan semua masalah yang diterima. Padahal dalam sebuah masalah, kita mendapat banyak pelajaran. Kalau hidupmu terlalu lurus dan tenang, lantas bagaimana kau bisa mengerti bahwa sesuatu itu salah, sesuatu itu sakit, seusatu itu akan membuatmu terluka. Tanpa masalah, kau abu-abu. Tak mengenal warna lain, entah itu terang ataupun gelap.
Satu hal yang kutahu. Aku berusaha menikmati setiap detik cerita dan kisah yang kualami. Cobaan, membuatku semakin dekat dengan Allah. Kebahagiaan, membuatku semakin tahu bahwa Allah benar-benar menyayangiku. Selalu berprasangka baik pada-Nya.
Tapi jangan berfikir aku sok suci, sekali lagi kutegaskan, aku orang awam, masih perlu banyak belajar, tapi setidaknya, dari ketidaktahuanku, aku berusaha mengerti bahwa Allah sedang mengajarkanku banyak hal, maka yang perlu kulakukan adalah bersabar dalam menerima pelajaran ini, berusaha untuk melewati semuanya dengan baik, meski tidak bisa mendekati kata sempurna.
Terima kasih Allah, untuk cinta-Mu yang luar biasa. Maaf jika aku terkadang lalai dalam menjalankan perintah. Sekalipun aku menjauh, Rabb-ku tak pernah menjauhiku, dia tetap mengawasiku, melihat kenakalanku, dan membiarkanku mengerti bahwa itu salah dengan cara-Nya sendiri. Ketika aku mendekat, Rabb-ku akan mendekapku erat. Romantis bukan? Bahkan kekasih kalian mungkin tak seromantis itu.

2.    Orang tuaku, ayah dan ibu.
Ayah mungkin tak bisa membaca tulisanku di blog ini, karena beliau sibuk mencari nafkah untuk kami. Dia tidak terlalu mengerti bagaimana menggunakan HP, SMS pun masih belum bisa. Kalaupun aku menemukan SMS dari ayah, pasti SMS kosong, tanpa isi.
Beda hal dengan ibu, ibu mengerti cara SMS, itulah sebabnya jika aku pulang terlambat dari jam biasa, ayah akan langsung menelepon, ibu akan mengirim SMS. Orang tua yang kompak saat memarahiku. Hahaha...
Tapi bukan ini yang ingin kuucapkan.
Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Ayah, beliau sudah menyekolahkanku dari bangku SD sampai SMA. Saat kuliahpun, ayah tetap menemaniku dengan motornya, begitupun saat aku bekerja. Meskipun aku kuliah dengan biaya sendiri karena nyambil bekerja, tapi itu tak akan mudah jika tak ada ayah.
Kalian tahu, ayahku orang yang humoris, banyak yang bilang wajahku mirip ayah, tapi aku lebih suka dibilang mirip ibu (maafkan anakmu yang durhaka ayah). :D
Ayah mengajarkanku banyak hal. Bagaimana cara bersosialisasi dengan lingkungan, bagaimana bersikap, mengejarkanku sabar, pengorbanan, dan kerja keras.
Ayahku bukan orang yang berada, tidak bekerja dikantoran yang mengharuskannya berdasi. Tapi meskipun hanya pedagang, dan sekarang tukang ojek. Ayahku sukses, mengantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah. Bahkan, sekarang adikku, anak terakhir karena kenekatannya, sedang menempuh pendidikan di UIN Palembang, baru semester 3. Meski sempat berdebat panjang karena masalah biaya, aku yang ingin adikku bekerja dulu baru kuliah seperti aku, tapi ayah tetap nekat membiarkan adikku kuliah, dan beliau yang menanggung biayanya, tentu saja dibantu ibu.
Untuk pendidikan, ayah orang nomor satu yang akan membela mati-matian pendidikan anaknya. Bahkan ayah pernah bilang, “Ayah siap bekerja keras, asal kalian tidak menjadi seperti ayah.”
Ayahku memang hanya tamat SMA, itulah sebabnya beliau tak mau anaknya mengikuti jejaknya, harus lebih darinya. Bahkan aku sudah dirongrongnya untuk melanjutkan S2 (sabar ya Yah, aku cari dulu biayanya).
Terkadang ayah suka mengomel, omelannya lebih panjang dari ibu. Tapi beliau tidak pernah main fisik, semarah apapun, ayah hanya akan bersuara, selebihnya memilih tidur untuk menenangkan pikiran. Itulah sebabnya akupun jika marah, memilih tidur atau menjauh dari hal-hal yang menyebabkan emosiku meningkat. Bedanya, jika ayah mengomel, aku lebih kalem, diam tapi tetap berfikir.
Karena kemana-mana aku hampir melibatkan ayah, maka tak heran jika orang memberiku julukan ‘anak ayah’, tapi aku tidak keberatan, karena aku memang anak ayahku. Tak pernah kuhiraukan saat orang-orang mendesakku untuk mencari orang yang bisa menggantikan tugas ayahku ‘antar jemput pribadi’, bukan karena aku ingin menyusahkan ayah. Tapi aku tak ingin menanam budi pada orang lain selain beliau. Jadi, aku hanya perlu membalas budi ayahku sepanjang sisa hidupku, ketimbang harus membalas budi pada orang lain. Mungkin pemikiran gila, tapi itulah yang kupikirkan.
Setidaknya, aku ingin menikmati setiap perjalananku dengan ayah, sehingga aku bisa menceritakannya kepada penerusku kelak, bagaimana ayahku selalu menjadi orang yang setia menemaniku dalam setiap langkahku.
Jika itu sedikit cerita tentang ayah, maka ini tentang ibuku.
Ibu, mengajarkanku untuk bersikap tegas, tenang meski sedang banyak masalah, berfikir ke depan dalam mengambil keputusan, berwibawa, dan menjaga kehormatan.
Ya, sikap tegas dan tenang, kudapat dari ibu. Ibu tak suka jika anaknya menjadi sosok pembantah, jangan coba-coba melawan beliau, ibuku bisa lebih menakutkan daripada seorang algojo perang. Tak ada kata ‘kalah dari anak durhaka’ dalam kamus ibu.
Sebesar apapun masalah dan sebanyak apapun hal yang berkecamuk dalam kepalanya, ibu tetap tenang, tapi dalam ketenangannya, aku tahu ibu sedang memikirkan jalan keluar. Beliau orang yang hebat dalam hal pembukuan, benar-benar terperinci. Itulah sebabnya ibu selalu menegurku yang terkadang bersikap sembrono dan masa bodoh.
Ibu sangat suka kebersihan, jangan coba-coba bangun lebih dari pukul 7, sekalipun hari libur, jika kau tak ingin mendengar omelannya.
Ibu tak mengajariku untuk menjadi anak manja, beliau membiarkanku belajar dari kesalahan yang kuterima akibat ulahku sendiri. Kami tidak dididik untuk menjadi anak ‘pengadu’, yang ketika mendapat masalah di sekolah, entah dengan teman atau karena dimarahi guru. Ibu selalu bilang, “Masalah yang kau terima, itu akibat ulahmu sendiri. Guru tidak akan marah jika kau tidak bersalah. Temanmu tidak akan usil, jika kau tidak membiarkan mereka mengusilimu.” Pernyataan yang bagus bukan?
Itulah sebabnya aku tumbuh menjadi agak preman waktu sekolah dulu. Hmmm... aku rindu masa SD ku. :D
Aku bersyukur dididik dan dibesarkan oleh mereka, mereka menjadi alasan utamaku bertahan hingga detik ini.
Untuk urusan agama, kedua orang tuaku memberi contoh yang baik.
Ayah dan ibu, akan selalu memantau Sholat kami. Ayah menjadi panutanku dalam memilih calon imamku. Ayah selalu menjaga sholatnya, jika sedang di rumah, dan tidak sedang sibuk, ayah akan sholat di masjid, terutama di waktu maghrib, isya dan subuh.
Jika setelah adzan masih belum ada gerakan untuk mengambil wudhu, ibu akan menegur kami. Itu yang aku suka dari mereka. Sifat sederhananya.
Terima kasih karena sudah mengajarkanku banyak hal, terima kasih karena sudah menyisipkan namaku dalam setiap do’a kalian. Teruslah temani langkahku, karena kalian alasan utamaku meraih mimpiku.

3.    Saudara-saudaraku

Masa kecil kami menyenangkan. Banyak permainan yang kami coba. Bermain enggrang dari kaleng bekas susu, main mobil-mobilan dari papan dengan rodanya terbuat dari kaleng cat yang diisi semen.
Benar-benar permainan tradisional. Masa kecil yang sudah diajari mandiri. Kakak pertama sudah seperti ibu kedua, dia yang mengasuh kami saat ayah dan ibu sibuk bekerja.
Pernah pelukan bareng saat ketakutan karena hujan deras disertai angin kencang dan bunyi geledek yang menyeramkan.
Kalau masalah usil, aku sering jadi bahan keusilan kedua kakakku. Dari jatuh dari sepeda karena dilepas tanpa tanggung jawab, berfikir aku sudah bisa. Sampe diketawain saat aku gelantungan nggak jelas di pohon mangga, pasalnya saat mereka mengajari bagaimana cara untuk cepat tinggi yaitu dengan gelantungan, tapi teganya narik kursi sampe aku bingung gimana bisa turun tanpa cedera.
Sering berantem, tapi saat udah gede gini, apalagi kedua kakakku udah pada nikah, kadang kangen buat kumpul bareng. Aku menjadi spesies aneh dimata mereka, dari caraku makan yang dibilang ‘sok elegan’, sampe hobiku yang diluar dugaan.
Tapi bagaimanapun, aku berterima kasih karena mereka adalah mengajarkan banyak hal semasa kecilku.

4.    Dosen-dosenku
Banyak sekali dosen-dosen yang mengiringi langkahku selama mengenyam pendidikan di bangku kuliah, tapi bukan berarti aku melupakan jasa guruku di waktu aku sekolah SD, SMP, dan SMA. Tapi yang difokuskan sekarang adalah semasa kuliah.
Ucapan terima kasih ditujukan kepada pembimbingku. Bapak Drs. H. Naisan Yunus, M.Pd selaku pembimbing satu yang sangat detail memeriksa skripsiku. Fokus utamanya EYD, tak ada yang terlewat dari pengamatannya. Benar-benar disiplin. Aku bersyukur beliau menjadi pembimbingku dan mengajar sewaktu semester 7 matkul Psikolinguistik, matkul Kajian Kurikulum Bsi semester 5.
Pembimbing kedua, Bapak Edi Suryadi, M.Pd. yang sempat mengajar matkul Menulis Karya Ilmiah semester 4,  Strategi Pengajaran Bahasa semester 5. Dosen yang benar-benar peduli dengan mahasiswa, meskipun disiplin tapi masih ada toleransi selagi alasan yang diajukan masuk akal.
Pernah tidak bisa mengikuti matkul beliau karena telat. Ya, karena kuliah sambil kerja, aku baru keluar kantor pukul 5, sedangkan matkul pertama dimulai pukul setengah 5. Otomatis telat. Belum lagi naik angkot 2 kali, Lemabang dan KM.5. yah... tahulah jam berapa baru sampe. Kadang 5 menit sebelum matkul jam pelajaran pertama selesai baru datang. Tapi beliau bisa mentolelir saat aku memberikan alasan.
Mengingatkanku untuk bimbingan saat aku terlena dengan kesibukan kerja. Terkadang setelah bimbingan, aku konsultasi mengenai pelajaran yang kurang kumengerti untuk bahan mengajar di tempat kerja. Menyenangkan saat berdiskusi dengan beliau tentang pelajaran bahkan sampai tanda tanya dalam pesan singkat. Aku juga suka saat matkul beliau, karena bahan presentasiku sering dimintanya untuk tambahan referensi.
Jika itu tentang pembimbing skripsi, aku juga mengucapkan terima kasih kepada dosen-dosen lain. Bapak Tarmizi, Bapak Nasir, Bapak Darwin Effendi, Ibu Nyayu Lulu Nadya, Ibu Amsri, Ibu Nurullaningsih, Ibu Tri, ibu Sri, dan semua dosen yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Intinya untuk semua dosen yang mengajar di Universitas Tridinanti Palembang, khususnya prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Khusus untuk Bapak Darwin yang tulisannya sudah malang melintang di koran Nasional, aku termotivasi untuk mengikuti jejak beliau. Bahkan beliau tahu saat aku masuk nominator 100 besar lomba menulis cerpen Graha Pena yang diselenggarakan oleh koran Sumeks. Pak Nasir yang sudah menerbitkan bukunya untuk dikonsumsi publik. Kalian dosen hebat. Terkesan sederhana, tapi memiliki banyak ilmu yang membuatku kagum. Do’akan mahasiswamu ini bisa mengikuti jejak kalian.
Terima kasih untuk kalian semua yang telah mengajariku dan memberiku banyak ilmu. Maaf jika selama proses belajar ada sikap dan kata-kataku yang tidak sopan. Kalian dosen yang hebat, aku bersyukur bisa diajar oleh orang-orang seperti kalian.
Sosok yang disiplin, objektif dalam menilai. Aku masih ingat ucapan ibu Nurul “Walaupun kita swasta, tapi ibu tidak mau asal-asalan mengajar kalian, ibu bisa saja memberi nilai A, tapi apakah kalian sanggup mempertanggung jawabkan nilai itu. ibu ingin kalian bisa membuktikan bahwa lulusan swasta juga berkualitas, bisa disandingkan dengan lulusan negeri.” Itu yang membuatku termotivasi untuk sungguh-sungguh selama menuntut ilmu
Sekali lagi, terima kasih.

5.    Sahabatku
Sevti Maya Sari, S.Pd. sahabat kocak yang terkadang gila. Jika aku kesannya pendiam, Sevto kebalikannya. Dia benar-benar tipe orang yang meledak-ledak dan blak-blakan, siap-siap sakit hati jika belum mengenalnya.
Ariya Octarice, SE. yang mau kurepoti selama proses pembuatan skripsi. Mulai dari menginap di rumahnya karena takut tidak konsen di rumah, sampai menemaniku melakukan eksperimen untuk data skripsiku. Aya, nama panggilannya. Temanku di bangku SMA. Benar-benar orang yang sabar, aku belum pernah melihatnya marah. Membantuku belajar otodidak program SPSS, menegur saat aku asik download lagu saat RPP menunggu. Terima kasih, karena sudah mau kurecoki. :D
Terakhir, untuk Mutia Lagan, S.Kel. sahabatku dari SD kelas 2, yang kebetulan rumah kami berdekatan. Orang yang bisa kuajak sharing dalam segala hal. Dari urusan pelajaran, kehidupan, sampai percintaan.
Adakalanya kami bermusuhan, tapi tidak akan lama. Besok-besoknya sudah menyapa seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Mutia, sosok yang terkadang bisa menjadi rival sekaligus partnerku. Kami bersaing dalam segala hal. Dari prestasi sampai meraih mimpi. Tapi benar-benar menjadi sehati saat membahas tentang sosok idaman, pandangan hidup, pola pikir, dan makanan.
Jika Mutia berusaha diet, aku akan menjadi devil yang selalu mempengaruhinya untuk menikmati makanan. Selera kami nyaris sama. Bahkan tak segan mencoba makanan baru jika dirasa menarik dan terlihat enak.
Kami berusaha untuk saling memberi pengaruh positif dalam segala hal. Sama-sama tak menyukai hal-hal yang berbau kesombongan dan manja yang berlebihan.
Meskipun terlahir dari keluarga berada, dia tak pernah suka memamerkannya. Bahkan bertekad untuk sukses tanpa ada embel-embel koneksi dari keluarga. Berbeda dengan pola pikir orang kebanyakan, yang akan dengan suka cita memanfaatkan nama keluarga untuk mempermudah langkah.
Pola pikir kami, ‘tak ada kebanggaan saat memperoleh hasil yang bukan dari kerja keras sendiri.” Itu yang membuatku kagum dengannya, di samping sifatnya yang supel dan terkadang kelewat berani. Kebalikan sifatnya yang tenang, dan memikirkan banyak hal. Tapi itulah indahnya perbedaan, untuk saling mengisi.
Aku bisa dengan kejam menghujatnya saat dia terlihat bodoh dengan tingkahnya yang terkadang aneh. Begitupun sebaliknya, dia akan mengkritikku saat sifat keras kepala dan cuekku muncul tanpa bisa dicegah. Tapi adakalanya kami saling memuji kekurangan tersebut. Karena jika kekuranganmu kau tempatkan ditempat yang baik, semuanya akan terlihat kerennnn! :D
Kami suka mencoba hal-hal gila. Kalau biasanya ada Alm. Ria Nani Azizah yang turut serta dalam kegilaan kami, sekarang tinggal kami berdua. Sama-sama berusaha meraih impian dan menemukan calon imam.
Jika aku sampai detik ini masih santai untuk urusan jodoh, dia sudah menargetkan akan menikah akhir tahun 2017. Ku do’akan kau mendapat yang terbaik, karena kau memang pantas mendapatkannya.
Sebagian orang beranggapan, bahwa sahabat itu, adalah orang yang akan selalu ada di sampingmu dalam suka dan duka. Tapi tidak bagi kami. Bukankah sahabatmu punya dunianya juga? Ada teman-temannya, ada keluarga, ada orang yang spesial untuknya, ada pekerjaan yang menantinya. Tidak mungkin dia bisa 24jam bersamamu, kau kira sahabatmu boneka panda yang bisa dibawa kemana-mana?
Kami saling membebaskan, zaman sudah canggih, meskipun sama-sama sibuk, kami bisa berkomunikasi lewat telepon, medsos, dll. Jika ada waktu, kami akan meluangkan waktu khusus untuk pesta ala kami sendiri. Tentunya tanpa melewatkan moment menyantap makanan.
Jika kalian memilih beralih ke salon terkenal untuk dihias saat acara yudisium, foto wisuda, bahkan acara wisuda, berbeda denganku. Mutia adalah salon pribadiku. Dia mengerti seleraku, tidak suka yang berlebihan. Dan dia dengan senang hati menawarkan diri untuk meriasku, dengan keterampilan otodidak yang dia dapat dari berbagai sumber. Hasilnya? Fantastik, kalian bisa lihat foto-foto yudisium dan wisudaku. Bahkan jilbabnya, Mutia yang mengkresikan.
Kami bahkan datang terlambat saat acara wisuda karena lamanya proses rias dan kebiasaan ngaret yang hanya kami yang tahu.
Kami berdebat panjang tentang mengenakan bulu mata palsu. Aku yang menolak idenya, dia yang mati-matian memaksaku mengenakannya, alasannya, biar lebih kelihatan ada bulu mata saat difoto. Hasilnya? Aku histeris saat melihat pantulan diri di cermin begitu Mutia selesai memasangkan bulu mata, “Mut.... kayak banci... lepas...” erangku sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Mutia tertawa, meski ada omelan kecil karena aku terlalu banyak protes.
Dia hadir saat acara yudisium dan wisudaku. berbonceng naik motor sambil cekikan membahas banyak hal selama perjalanan, tidak perduli dengan tatapan banyak makna dari orang yang melihat. 
Protes utamaku kalau didandani Mutia, “Jangan tebal-tebal, jangan sampe aku kayak ondel-ondel. Warnanya yang natural, jangan sampe kayak muka orang habis digebukin sekampung.” Dan sampai sekarang, aku masih suka memintanya meriasku saat kami ada undangan yang sama di tempat yang sama.
Terima kasih sahabat, karena sudah bersedia menjadi sahabatku. Semoga kita bisa sama-sama meraih impian kita.

6.    The last...
Thanks to Rico.
Saudara jauh yang otaknya agak geser tapi justru keren dengan pemikirannya.
Rico, cowok yang benar-benar mandiri. Selamat, kau berhasil sampai tahap ini.
Dia mengajariku banyak hal. Akupun kaget, kenapa bisa baru sekarang ketemu nih makhluk satu. Awalnya dia mirip gelas kosong, sehingga aku harus mengajarinya banyak hal untuk memberitahunya bahwa ini salah dan ini benar.
Tapi sekarang, dia yang mengajari banyak hal. Bagaimana menghadapi orang-orang yang hanya bisa mencemooh, bagaimana cara bertahan di kerasnya arus hidup, menghormati orang yang pantas dihormati.
Dia mengajarkanku untuk tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang mencemooh dan selalu berusaha mengusik hidupmu dengan mengorek-ngorek kekuranganmu. “Mereka cuma bisa menilai, dan yang perlu kamu lakuin, wujudkan impianmu, sumbat mulut mereka dengan prestasimu. Nggak perlu diladeni, hanya buang-buang waktu. Orang bakal liat, siapa yang menang. Yang cuma bisa ngomong, atau yang diem tapi ada hasil nyata yang dicapai.”
Rico seperti mata uang yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi dia bisa benar-benar cuek dan tidak peduli, bahkan terkadang kumarahi karena sikapnya yang terlalu individualis. Terlalu berani tanpa memikirkan jika aksinya terlalu ekstrim dan mengundang bahaya.
Tapi di satu sisi, dia bisa menjadi pengamat yang cerdas, lebih cerdas dari profesor, lebih berperikemanusiaan dari seorang ustad. Lebih peka dari tanaman putri malu.
Aku bahkan selalu berakhir dengan bungkam jika berdebat dengannya. Aku yang biasanya tak akan mau kalah, karena jawaban yang kuterima dari lawan bicara tak mampu membuatku mengenyahkan tanda tanya besar diotakku, atau lawan bicaraku yang aku tahu hanya pandai berteori tanpa memberi contoh atau praktek secara langsung. Begitu berdebat dengannya, kata-kataku terpatahkan, dia telah memberi praktek dengan dirinya sendiri, memberi contoh dengan orang-orang di sekitarnya. Itu yang membuatku bungkam dan terpekur membenarkan ucapannya.
Aku bukan orang yang bisa menelan bulat-bulat ucapan orang. Kulihat dulu siapa lawan bicara, baru kupertimbangkan ucapannya. Jika orang menceramahiku tentang rasa hormat, tapi prakteknya dia tak mencerminkan itu, maka dia orang pertama yang tak akan kubagi rasa hormat sedikitpun dariku. Kalaupun aku diam, bukan berarti menghormati, karena aku menjauhi orang-orang yang hanya bisa berteori. Aku tetap mengambil ilmunya, tapi tidak mengambil sifat sang pemberi petuah berupa teori semata.
Bahkan, aku mendapat petuah dari saudara gilaku, “Jalani hidup seperti air mengalir, tapi punya tujuan pasti.” Akan kuingat petuah itu. karena kamu sudah memberi contoh nyata padaku.
Aku kagum padamu mas bro. Tekadnya benar-benar kuat kalau sudah punya tujuan, pekerja keras, sayang keluarga meskipun bisa benar-benar cuek dengan orang lain. Sosok yang memberikan contoh nyata, tak terlalu suka banyak bicara, tapi hasilnya ada.
Ciri orang pintar yang tak suka sesumbar. Terima kasih untuk buku-bukunya yang jauh-jauh ditransfer untuk referensi tugasku. Terima kasih untuk sharing-sharing berharganya. Terima kasih untuk waktu dan pikirannya yang terbuang percuma untuk menanggapi gadis bodoh sepertiku.
Ingat pesan terakhirku. Ketika ada masalah, itu artinya Allah sedang cemburu padamu, karena kamu begitu mengutamakan tujuanmu dan menomor duakan Dia. Maka segeralah kembali pada-Nya. Tapi jika kamu memperoleh apa yang kamu inginkan, maka jangan lupa untuk bersyukur, karena Allah telah bersedia mengabulkan inginmu.
Sukses untuk impiannya, semoga selalu sehat dan bahagia dengan keluarga di sana. sekali lagi, terima kasih untuk ilmunya, dan terima kasih sudah menjadi guru tidak langsung yang mengajari banyak hal.



Terima kasih untuk kalian semua, orang-orang terpilih yang Allah beri untuk mengajari banyak hal.
Jika orang berfikir kerja sambil kuliah itu tidak mudah, yakin saja, jika kalian mau dan menikmati kesibukan yang tercipta, kau akan menikmatinya. Aku menikmati masa-masa sibukku. Bahkan aku sempat kesal saat libur bekerja, tapi ada matkul. Datang ke kampus terlalu cepat tanpa ada adegan lari-lari dari turun angkot ke ruang kelas, rasanya ada yang kurang.
Ketika disibukkan dengan tugas di kantor yang menguras otak, begitu pulang dihadapkan dengan pengingat bahwa besok giliran aku presentasi tugas kuliah, bergadang. Di sela kesibukan kantor, menyicil materi untuk bahan presentasi kuliah. Mandiri, karena presentasi kami jarang berkelompok.
Harus menelan kecewa saat mendapati kelas sudah bubar, sementara dihari itu hanya satu matkul, dan kedatanganku ke kampus rasanya sia-sia. Karena aku selalu terlambat di jam pelajaran pertama.
Menyalin catatan teman, karena ketika aku datang, materi sudah selesai dijelaskan. Jika masih ada waktu untuk bertanya, maka tak segan bertanya sekalipun mendapat tatapan membunuh teman-teman karena jam pelajaran telah habis. Kalian tak akan mengerti ketika rasa penasaran dan ingin tahu tak terjawab, itu benar-benar menyebalkan.
Jika hampir seluruh mahasiswa begitu pulang nongkrong-nongkrong dulu di kantin atau di depan fakultas, aku memilih segera pulang. Itulah sebabnya aku tak terlalu banyak tahu tentang si A adik tingkat, si B anak ekonomi, si C alumni. Jika kalian berpapasan denganku dan reaksiku biasa saja, harap maklum. Aku jalannya lurus, nggak doyan toleh kiri-kanan. Dan untuk urusan mengenali wajah, ingatanku agak bermasalah, jadi jangan kesal kalau raut wajahku kayak orang bloon saat kalian menyapa dan memanggil namaku.
Aku suka kesibukanku, dan kurasa aku akan merindukannya. Prosesnya benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan isi dompet. Hahaha...
Jadi bersyukurlah untuk kalian yang tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah. Kuliah itu bukan tentang ajang gengsi asal mendapat titel. Untuk apa titel tapi sikap masih seperti bocah 2 tahun.
Ada yang bilang, IPK tak akan dibawa mati. Memang, tapi bukankah membanggakan saat namamu masuk dalam deretan yang lulus dengan predikat “Dengan Pujian”. Ilmu dapat, prestasi Ok, gelar dapat. Kalau bisa menjadi lebih dari orang lain, kenapa harus puas dengan hasil yang pas-pasan?
Siapa yang tidak tersentuh, saat tangan ayahmu mengusap kepalamu saat acara wisuda selesai dan mengucapkan selamat atas prestasi dan hasil kerja kerasmu. Jangan berfikiran sempit. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil.
Dan jikapun kau meraih semuanya, jangan lantas sombong. Aku tak pernah memandang seseorang itu pintar ketika dia memiliki pola pikir “Aku lebih pintar daripada kamu.”
Dan aku juga tidak suka saat ada yang terlalu cepat menyerah padahal usaha belum maksimal, mengeluh, dan mengatakan “Kamu enak, pintar. Aku susah memahaminya.”
Kutegaskan sekali lagi, bahkan pada siswaku, “Tidak ada murid yang bodoh, hanya malas. Musuh terbesar kalian ada rasa malas itu sendiri.” Jadi, jangan pernah berfikir orang pintar itu didapat instan, dia juga belajar. Orang sukses dan miliarder karena dia beruntung. Tak ada kata beruntung dan kebetulan, mereka meraih semua itu dengan usaha lebih, lebih dari rata-rata yang orang biasa lakukan.

Dan seperti yang kalian lihat, aku mengakhiri ucapan terima kasih dengan kalimat sederhana buah pikiranku.
“Seberapa kalipun kau lelah dan berniat ingin menyerah, tengoklah ke belakang, sudah berapa jauh kau melangkah. Lihatlah sekelilingmu, siapa saja yang akan kau buat kecewa. Karena hidup, bukan tentang ego dan ingin semata. Melainkan untuk siapa dan bersama siapa kita melangkah.”

Kata-kata penyemangatku, “Nothing Impossible. Because, I’m not alone, Allah always with me.”
Jadi, untuk kalian semua. Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang sudah kalian lakukan.
Bagi pembaca, mohon maaf jika ada kalimat yang kurang berkenan. Ambil positifnya, buang negatifnya.
Gomawoyo... 




No comments:

Post a Comment