Sunday 15 November 2020

Aku Ingin Kembali

 

sumber: google.com
 

Kemarin aku baru saja menyelesaikan sebuah pelatihan yang membuatku tersadar akan beberapa hal. Aku melupakan sisi nikmat di mana aku tenggelam dalam bacaan, menyibukkan diri di antara tumpukan buku, melelahkan jemari dengan menulis apa saja yang bisa kutulis, belajar banyak hal untuk kemudian tersenyum menertawakan kebodohanku dan betapa dangkalnya ilmuku.

Hari pertama pelatihan, kelas bergabung. Ada satu sosok wanita cantik yang menarik perhatianku. Kritis, pintar, dan cantik. Itu yang bisa kuungkapkan untuk menggambarkan sosok wanita mengagumkan itu. Sosok itu juga yang menyadarkanku bahwa sudah lama aku meninggalkan kebiasaanku sekaligus membuatku iri akan potensi yang dimilikinya.

Dengan dua buah kalimat, "Duta Bahasa" dan "Kulahap habis buku itu.", cukup membuat emosiku bergejolak. Ada rasa iri, malu, kagum, sekaligus rindu. Mendadak pipiku terasa hangat. Bukan karena menangis, karena aku sedang menahan gejolak keempat perasaan itu.

Aku terlempar ke masa di mana aku pernah begitu menikmati saat-saat menenangkan menghabiskan waktu di perpustakaan kota atau perpustakaan sekolah maupun toko buku. berlama-lama di sana, dengan jemari yang menelusuri setiap lekukan buku yang hampir semuanya menarik menurutku.Ingin sekali kuborong semua buku itu untuk kemudian kupindahkan ke rumahku. Itulah kenapa aku getol sekali ingin mengoleksi buku untuk kemudian membuat perpustakaan mini di rumahku. Sayangnya bukuku terlanjur dihibahkan ibu kepada tukang loak, beruntung aku masih bisa menyelamatkan buku-buku semasa kuliah.

Aku ingat, jika senggang di rumah atau di kantor, aku akan menuliskan apapun untuk mengisi waktu luang, jika kebetulan saat itu aku sedang malas membaca. Aku orang yang suka mengamati, maka apa yang kuamati akan kutulis dalam buku untuk kemudian kupindahkan ke dalam laptop. Aku akan menuliskan hal-hal yang menurutkan bisa bermanfaat untukku dan orang lain. Kupilah-pilih mana yang baik untuk kutulis mana yang tidak. Biasanya aku menulis untuk mengingatkanku sendiri, ku share dengan tujuan siapa tahu bisa bermanfaat untuk orang lain.

Maka keliru jika orang mengira aku menulis untuk menyindir pihak tertentu, karena sejatinya aku menulis untuk mengingatkn diriku sendiri mana yang baik dan mana yang tidak.

Tapi, kebiasaan itu sudah lama kutinggalkan. Mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan karena hal sepele aku melupakan kebiasaan itu. Kehilangan data  tentang semua karya tulis baik fiksi maupun non fiksi sekaligus rusaknya notebook beberapa waktu lalu membuatku seolah patah sayap. Jika sebagian orang berfikir kenapa tidak memulai lagi.

Kalian tidak akan mengerti gejolak perasaan saat meneruskan cerita yang sudah ada dan menuliskan yang baru. Ada satu karya fiksiku yang belum kurampungkan, karya yang benar-benar membuatku mencurahkan pikiran dan waktuku untuk mengolah diksi apa yang pantas kumasukkan ke dalamnya. Sudah kucoba untuk menulis kembali cerita yang sama, tapi selalu ada yang kurang di dalamnya. Ada kata-kata yang tidak mengena, berbeda dengan tulisan awalku. Tulisan kedua tidak akan sama dengan tulisan pertama. Tulisan ini kosong, kehilangan jiwanya.

Aku juga mencoba untuk mencari siapa tahu aku menyimpan tulisan itu di tempat lain, tapi tidak, aku tidak pernah memindahkannya. Hambar, aku seolah kehilangan jiwa.

Seseorang pernah membaca cerita fiksiku itu dan menilai jika kata-kata yang kugunakan terlalu sarkasme serta menanyakan apa tujuanku menulis,

Kuakui aku ingin menjadi penulis, tapi dia membantah jika tulisanku terlalu sarkas, publik tidak akan menerimanya. Jika ingin menjual karya, aku harus menyesuaikan dengan minat pembaca. Tapi, aku tidak peduli. Aku menulis untuk kesenanganku, di samping aku ingin orang mengenalku dengan ciri khasku dalam menulis.

Jika aku meniru, mengubah gayaku, itu menjadi bukan aku. Bukankah penulis mudah dikenali karyanya karena gaya penulisannya? Aku menuliskan berdasarkan fakta, lagipula itu cerita fiksi, tak melulu membahas logika, pun tidak melulu terercaya dalam perasaan haru biru. Aku benci roman picisan yang mendayu.

Aku yang terbiasa membuat ending menyedihkan dengan mengakhiri hidup tokoh utama, diprotesnya habis-habisan, Hey! Ini tulisanku, ini ceritaku, dan ini gayaku.

Baiklah, kembali lagi ke awal cerita. Aku iri juga iri pada gadis itu, dia mengingatkan dengan sosokku yang dulu, dan sekarang aku meringkuk mengesampingkan kesenangan itu untuk kemudian terjebak pada hal yang sia-sia.

Aku mendambakan kebebasanku, sepak terjangku yang terkadang terlalu spontan, kata-kataku yang lugas.

Aku... Ingin kembali.

Hei, Orie tokoh utama dalam cerita fiksiku, bangkitkan untuk untuk kembali mengembangkan kisahmu. Aku terlalu lama tertidur dan meringkuk di sudut terjauh jiwaku.