Monday 18 June 2018

Jangan Biarkan Isi Hatimu Berserakan di Semua Tempat


Hati manusia adalah gudang semua rasa. Senang, sedih, kecewa, marah, terharu, rindu, dan masih banyak lagi rasa yang akan muncul di sana selama seseorang itu masih bernyawa. Sudah tak bernyawapun masih memiliki rasa, takut atau bahagia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di dunia.
Tak jarang kita dapati berbagai ungkapan isi hati muncul di beranda media sosial. Dari hal sepele sampai yang rumit.
Saat jatuh cinta. Siapapun pasti pernah diserang oleh virus merah jambu ini. Berbagai ungkapan dan kalimat penyair berusaha menggambarkan 'wajah' dari sang cinta.
Maka akan kita dapati status-status ungkapan cinta, rindu, sayang, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang sang gebetan atau si doi langsung di tag biar orang tau siapa yang dia maksud, atau ingin pengakuan atas kepemilikan, entah itu sudah sah atau belum. Lalu muncullah komentar ucapan selamat, do'a, pemalakan, dll.
Saat marah, maka sumpah serapah dan caci maki juga akan muncul di beranda. Kurang puas main sindir, tag langsung orangnya. Rusuhlah komentar dari status itu, bukan hanya dari mereka yang berseteru, tapi terkadang kita dan orang-orang luar yang tidak terlibat ikut rusuh. Nimbrung tanpa tau perkara aslinya bagaimana. Menghujat atas yang benar dan salah. Kalah heboh dari sang hakim yang memutuskan suatu perkara.
Saat sedih atau kecewa. Kalimat mendayu dan penuh keluh-kesah. Kita merasa kitalah korban atas ketidak adilan atau musibah yang terjadi. Kurang afdol hanya dengan kata-kata, upload foto dengan mata yang berlinang air mata, dan hidung merah. Maka muncullah ucapan belasungkawa yang entah sekedar basa-basi atau memang tulus adanya.
Termasuk hal remeh temeh lainnya. Habis mandi, "cekrik" foto dengan berbagai macam gaya tapi wajah tetap sama. Melamun, bosan, "Cekrik" upload foto lebih dari 3 dengan caption yang dibuat semenarik mungkin. Bahkan saat belajar, dan hal-hal tidak penting lainnya. Bisa upload entah itu status atau foto dengan rentang waktu yang singkat dalam sehari.
Pun begitu saat patah hati, berhasil meraih sesuatu, dan semua rasa yang kita rasakan tak luput kita share di media sosial.
Boleh jadi, sekedar dijadikan moment untuk mengenang masa. Boleh jadi merasa semua orang wajib tahu apa yang kita rasakan, pun boleh jadi kurang kerjaan.
Apapun alasannya, memang itu hak kita. Medsos punya kita, bodo amat orang mau bilang apa. Benar, statement ini tidak salah. Tapi jika kita mau sedikit saja berfikir, hanya sedikit, kalau banyak nanti otak kalian tidak sanggup. Apakah semua orang yang nimbrung di status kita mengatakan yang sebenarnya? Apakah mereka yang berkomentar dengan keluh kesah kita benar-benar sepeduli itu, atau hanya basa-basi? Mungkin kita merasa senang dengan jumlah 'like' dan 'coment' yang berjibun, merasa semua orang memperhatikan kita. Tapi... Adakah dari mereka yang mengucapkan kalimat basa-basi, benar-benar hadir di sisi kita untuk menghibur, merangkul di saat sedih, ikut tertawa di saat kita bahagia? Apakah mereka yang membela kita saat kita bertengkar di dunia maya benar-benar mendukung kita? Tidak, jikapun ada biasanya itu teman kita yang sebenarnya. Dan, orang yang benar-benar peduli tidak akan menanyakan hal basa-basi, melainkan langsung datang, menghubungi, bertanya cemas, ikut sedih, bahkan ikut bahagia bersama kita. Bukan hanya melontarkan komentar basa-basi.
Apakah setelah kita mengeluarkan isi hati di medsos semua permasalahan selesai? Tidak. Masalah justru akan merembet kemana-mana. Sebagai contoh, kita punya masalah dengan seseorang, bertengkar. Rusuh di medsos komentar-komentar pro dan kontra. Yang harusnya masalah hanya melibatkan 2 orang, akhirnya teman, kerabat, bahkan orang yang tidak kita kenal ikut berdebat. Bukannya menyelesaikan masalah, malah memperkeruh, memanasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang lebih emosi dari kita. Alhasil jadilah ladang penebar kebencian medsos kita.
Masalah lain, saat jatuh cinta kita rusuh membuat status, baru jadian heboh upload foto mesra, bahkan kalah mesra dengan kakek nenek kita yang sudah bersama puluhan tahun. Mengobral kata cinta ke mana-mana, melempar kata sayang dan rindu sedemikian rupa. Tiap menit bahkan detik. Takut sekali dia tidak tahu kalau kita menyukainya, sedangkan hakikatnya cinta itu bukan melalui kata-kata. Justru ketika semakin sering diucapkan akan terasa hambar, tak bermakna. Jangan-jangan malah mengaburkan makna sejatinya. Meyakinkan hati bahwa itu cinta, sedangkan kita sendiri bingung apa itu cinta. Ngotot sekali bahwa itu cinta.
Lalu, saat patah hati, putus. Rusuhlah kita menghapus semua kenangan, sambil berlinangan air mata. Aduh.... Ribet sekali perkara hati ini.
Ini sebagian ada dalam status yang dibuat oleh bang Tere, penulis favorite saya. Tapi saya setuju dengan argumentnya.
Sekali lagi, jika kita mau berfikir. Tidak semua orang yang tidak ikut nimbrung di status kita itu memang tidak peduli. Justru mereka bersikap tidak peduli karena terlalu merasa terganggu dengan status-status yang kita buat. Bisa jadi malah gebetan atau doi yang kita incar merasa ilfil dengan ulah kita.
Jika orang yang sedikit waras, akan berfikir ulang saat melihat gebetannya mengeluarkan makian dan sumpah serapah yang menakjubkan. Tidak menutup kemungkinan kalimat itu akan dia lontarkan pada kita. Belum lagi jika kita sibuk mengeluh tentang hidup kita, kita bisa saja di cap tukang pengeluh. Aduh... Jangan terlalu merasa bahwa sosmed itu sepenuhnya hak kalian. Ada orang yang melihat, teman, guru, dosen, keluarga, orang-orang tidak kenal yang berteman di dunia maya. Bagaimana mungkin mau kita tunjukkan semua kekurangan kita, kelebihan kita.
Bahkan beberapa penelitian membuktikan, orang-orang yang benar-benar bahagia atas hidupnya justru tidak banyak membagikannya di media sosial. Menjadikan moment itu tetap berharga untuknya dan orang-orang yang bersamanya. Jikapun diabadikan, akan tersimpan rapi dalam album kenangannya. Sehingga bisa dia nikmati kapan saja jika dia mau. Termasuk hal-hal membanggakan lainnya, tak perlu semua diumbar, biarkan orang lain yang melihat sendiri, tidak perlu diperlihatkan secara berlebihan. Mereka yang bijak, yang benar-benar luas wawasannya, tak pernah rusuh jepret sana sini untuk menunjukkan prestasinya, tapi dunia dengan sendirinya menjepret dan mengabadikan prestasinya. Mereka yang benar-benar dermawan ahli ibadah, tidak akan rusuh jepret sana sini, update status sana sini untuk menunjukkan betapa dermawan dan ahlinya dia beribadah, dia rahasiakan, sadar jika penonton dan pembalas terbaik adalah penciptanya. Apalagi sampai selfie kalau lagi ngaji atau sholat. Kalaupun ada yang terjepret kamera, itu bukan keinginan mereka, melainkan oeang lain yang ingin mengetuk hati sesama untuk berbuat baik juga.
Untuk kita yang punya masalah, entah skala kecil atau besar. Bagi mereka yang mengerti arti privasi dalam hidup, akan menyimpannya rapat-rapat. Termasuk masalah orang lain yang sengaja atau tidak dia ketahui. Jika kita saja tidak bisa menyimpan aib kita sendiri, tidak bisa menjaga rahasia kita sendiri, bagaimana bisa kita menyimpan rahasia dan aib orang lain? Maka orang yag melihat akan berfikir ulang untuk dekat dengan kita.
Jika memang sudah tidak sanggup memendam semua perasaan sendiri, kita boleh mengungkapkan. Tidak ada yang melarang, lagipula siapa pula yang bisa melarang jika yang merasakannya kita sendiri. Hanya saja, cari tempat menyalurkan yang baik. Tidak semua orang yang bertanya "Ada apa" benar-benar peduli, terkadang ini hanya kalimat basa-basi atau kalimat dari mereka yang sekedar kepo dengan hidup kita, untuk akhirnya hanya melontarkan kata-kata basa-basi setelah mendengarkan cerita versi lengkap dari kita.
Hubungi teman, teman yang jelas-jelas kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Orang-orang yang bisa menjelek-jelekkan orang lain di depan kita, tidak menutup kemungkinan bisa melakukan hal yang sama kepada kita di belakang kita.
Tidak memiliki teman yang dipercaya? Tuangkan semua isi hatimu di kertas, penuhi kertas itu dengan isi hatimu. Takut ada yang membaca, bisa langsung kalian bakar. Malas menulis? Maka tidak ada tempat curhat yang paling baik selain di atas sajadah. Menangislah sesuka hatimu, mengadulah semua masalahmu. Maka kita akan merasakan ketenangan. 'Dia', tidak pernah meninggalkan kita. 'Dia' tidak pernah iseng  bercerita ke makhluk lain tentang keluh kesah kita, bahkan dengan kuasa-Nya akan membantu kita. Bantuan yang lebih dahsyat dan di luar kuasa semua makhluk-Nya.
Cobalah, kita harus mencoba untuk menjadi pribadi yang terbiasa menyelesaikan semua masalah sendiri. Jadilah orang yang mandiri. Jangan terlalu bergantung pada orang lain, karena tak selamanya mereka akan berada di sisi kita. Mereka akan pergi, entah pergi karena menemukan yang lain, bosan, atau karena kematian. Maka tempat bergantung sebaik-baiknya adalah kepada 'Dia'. 'Dia' tidak pernah meninggalkan kita, namun kitalah yang senantiasa menjauh, lupa bahkan sengaja melupakan 'Dia'.
Tapi bukan berarti saya melarang kalian untuk menshare atau menulis apapun di medsos. Boleh, sungguh boleh. Hanya saja, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih mana yang baik dan tidak. Apakah bermanfaat atau tidak. And last... Saya suka menjadi tempat orang bercerita. Menyenangkan saat mendengarkan seseorang bercerita, memberikan masukan. Insya Allah terjaga rahasia.