Monday, 9 September 2024

Aku Jatuh Cinta pada Hujan

 Aku akan selalu jatuh cinta berkali-kali pada hujan.

Ketika di rintik pertama tetesannya menyentuh bumi, senyumku otomatis akan merekah.

Saat aroma basah dari tanah dan tumbuhan tercium, saat itu juga aku bahagia.

Saat rinainya bergelimpah membasahi setiap sudut kota,

Saat nyanyian kodok mulai terdengar riang memanggil kembali hujan yang baru beberapa menit lalu berlalu.

Saat itulah aku merasa tenang.

Semesta sedang merayakan hal yang sama seperti yang kurasakan.

Aku suka menyimak hujan di balik jendela,

seolah alam bercerita padaku.

Tentang rahmat-Nya yang sedang dicurahkan pada bumi,

tentang penghiburannya pada beberapa makhluk yang mendamba,

tentang cinta-Nya yang selalu kureguk tanpa tau malu dan kerap serakah selalu meminta lebih.


Pada hujan,

Aku selalu jatuh cinta, Rabb-ku.

Aku akan tenggelam pada dunia yang kuciptakan,

Dunia yang membuatku selalu merasa tenang,

Sekalipun ada tangis, bukan tangis penyesalan.

Hujan seolah menjadi penghibur khusus untukku.

Membawaku lelap dalam buaian-Mu.

Tak jarang aku sengaja membiarkan tubuhku basah kuyup hanya untuk sekedar menyecap dinginnya tetesan hujan mengguyur tubuhku, membiarkan driver ojol mengenakan mantelnya sementara aku akan tertawa sumringah menyambut tetesannya di tubuhku.

Seperti bocah, beberapa orang menyebutku begitu.

Aku yang selalu suka hujan, terkadang membuat orang di sekitarku kesal.

Bagi mereka, hujan menghambat berbagai aktivitas.

Yah... Kuakui ada beberapa, tapi selebihnya aku tak peduli.

Momen hujan itu unik.

Berbagai julukan bahkan disematkan padaku oleh beberapa orang yang mengenalku.

Putri hujan, peri hujan, dan bocah.

Karena begitu cintanya aku pada hujan.

Hujan seolah menyulapku menjadi sosok yang jauh lebih ceria.

Aku yang biasanya pendiam dan melipir saat cuaca panas, begitu hujan akan berjingkat lincah menghindari genangan hujan atau tertawa saat melihat motif totol-totol yang diciptakan dari rintiknya pada pakaian yang kekanakan, sengaja betul berjalan pelan begitu gerimis datang.

Ahhh...

Spesial sekali hujan bagiku.

Terima kasih Rabb-ku untuk bentuk cinta-Mu padaku.

Monday, 1 July 2024

Gadis Kecil dan Permen Warna-Warni

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang gadis kecil di sebuah Rumah sakit.

Di tengah riuhnya suara di sekitar, mataku tertuju pada seorang bocah perempuan yang terlihat duduk diam.

Entah awalnya dari mana, akupun tak tahu awal mula dia muncul di depanku kapan.

Aku baru menyadari kehadirannya saat dengan sudut mataku, kulihat beberapa kali dia mencuri pandang padaku.

Iseng, kuputuskan untuk memergokinya.

Tentu saja dia segera membuang muka, terlihat menggemaskan menurutku.

Aku yang semula mengantuk, perlahan mengumpulkan kesadaran utuh.

Naluriku untuk mendekati sesuatu yang imut segera muncul.

Jika bocah lain terlihat berisik, berteriak, mengobrol dan bermain. Berbeda dengannya, gadis itu lebih memilih duduk diam di sebelah bapak-bapak yang tengah sibuk dengan handphonenya.

Sesekali dia mengayunkan kakinya, untuk kemudian menoleh kembali padaku.

Tentu saja aku segera memasang senyum termanis yang kupunya, lupa jika maskerku tentu menutupinya.

Saat kulihat dia membuang muka untuk kedua kalinya, kuputuskan untuk mendekat.

Aku teringat dengan permen yang pernah kubeli di minimarket dekat rumah, kebetulan aku membawanya.

Dalam benakku, biasanya bocah suka dengan permen atau hal-hal manis, apalagi permennya berwarna-warni.

Sebatang permen kusodorkan mendekati jemarinya. Tapi dia tidak merespon, sedikit kecewa, kucoba lagi. Tangannya seolah mau mengambil tapi ternyata tidak, bahkan dia memutuskan untuk tidak menoleh lagi padaku.

Baiklah, harga dirimu mahal juga bocah.

Maka kubiarkan permen itu masuk kembali ke tempat asalnya.

Selang beberapa lama, saat aku sendirian karena rekanku tengah melakukan pemeriksaan, aku tetap mengamati bocah kecil itu.

Kembali kukeluarkan permen yang tadi sempat kumasukkan lagi.

Kupegang sembari menimbang kapan waktu yang tepat untuk memberikannya.

Sempat terfikir untuk memberikan permen itu melalui orang tuanya, karena biasanya anak-anak terlalu malu mengambil sesuatu dari orang asing tanpa restu dari orang tua.

Sembari mengamati situasi, akhirnya seorang bapak yang duduk selisih satu kursi dengan bocah itu berdiri, mengulurkan tangan pada sang bocah dan mengajaknya pergi.

Bocah itu menurut tanpa banyak bertanya. Mengikuti langkah ayahnya mendekati meja resepsionis tempat beberapa perawat berjaga.

Ah... Rasanya aku seperti orang patah hati, saat kulihat langkahnya menjauh bersama sang ayah. Bahkan mereka menolehpun tidak.

Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan pada permen yang gagal menemukan pemilik barunya.

Ingin kuberikan pada bocah lain, tapi hati terlanjut menyesal untuk tidak memaksa bocah tadi menerimanya.

Tapi seperti keajaiban, dia kembali datang bersama sang ayah dan kali ini duduk tepat di sebelahku.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuulurkan permen tersebut kepada si bocah, tentu saja lebih dulu izin pada ayahnya.

Saat ayahnya memberi izin dan meminta bocah itu menerima, barulah permennya sampai ke tangan yang tepat.

Tentu saja aku lega.

Tapi aku kembali dibuat bertanya-tanya, saat kudapati setelah beberapa lama permen itu hanya dia genggam.

Tidak tertarik kah atau tidak suka?

Lagi-lagi aku kecewa, tapi yah... Mau bagaimana lagi, minimal aku sudah menyerahkannya, daripada nanti kepikiran sampai beberapa hari ke depan.

Selang berapa lama kemudian, ayahnya berdiri dan meminta bocah itu menunggu.

Dengan takzim dia mengangguk, duduk manis sembari menatap permennya.

Kuberanikan diri untuk bertanya, "Ga' dimakan permennya?"

Dia menatapku lalu melihat permennya, maka kuputuskan memberi bantuan untuk membuka permennya karena berfikir mungkin dia kebingungan bagaimana cara membukanya.

Begitu terbuka, kuulurkan kembali padanya. Diterimanya dengan senyum manis dan segera dinikmatinya.

Bahkan saat kutanya apakah permennya enak, dia menjawab 'enak' dengan riang.

Aihhhh.... Ingin kuculik dia.

Tapi lagi-lagi aku dibuat kecewa saat permen itu kembali hanya digenggamnya.

Aktivitas menjilat permen berhenti sempurna.

Mau tak mau aku memperhatikannya, bahkan khawatir permen itu jatuh dan terbuang percuma.

Heiii.... Bukan aku tidak ikhlas, tapi takut bocah itu menangis saat permennya jatuh. Meski dalam hati juga bertanya-tanya, kenapa permennya tidak segera dihabiskan.

Karena khawatir, kutawarkan diri untuk kembali membungkus permen itu. Biar bisa dia nikmati nanti.

Lagi-lagi gadis itu tidak menolak, beruntung aku belum membuang bungkus permennya.

Setelah kuserahkan kembali, suaranya terdengar.

"Nanti makan sama Abang."

Ahhhh.... Saat itu juga terjawab pertanyaan ku, dia hanya bocah kecil yang ingin berbagi apa yang dia punya. Beruntung sekali abangnya punya adik semanis, seimut dan seperhatian ini.

Seolah mulai terbuka, dia berbicara padaku, menyebut ayahnya, ibunya, abangnya.

Aku hanya tertawa saat mendengar dia bicara dengan nada seperti berbisik membuatku harus mencondongkan tubuh kearahnya agar bisa mendengar suaranya.

Manis.... Sekali.

Bocah cantik dan imut, serta tingkahnya yang menggemaskan. Aku suka.

Sesekali dia memperhatikan bocah lain sedang makan, dia sempat bertanya tentang sesuatu padaku, tapi karena suaranya terlalu kecil aku tak bisa menangkap dengan jelas maksud dari pembicaraannya.

Tidak lama kami berbisik-bisik manja, karena ayahnya memanggil.

Nurut dong dia, tentu saja.

Dengan langkah riang dia mendekat ke ayahnya dan ternyata Abang yang dari tadi dia sebutkan juga datang.

Dia menjadi lebih cerewet ternyata. Mengatakan banyak hal pada abangnya, beruntung abangnya juga terlihat menyayanginya.

Mereka sempat kembali duduk di depanku.

Awalnya abangnya sempat mengeluarkan hp, tapi kembali dimasukkannya saat gadis itu mengajak berbicara, bercerita.

Ahhh... Kakak beradik yang manis.

Yang mengerti tentang pentingnya fokus pada orang di sisimu saat bersamanya, bukan mengabaikan dan sibuk dengan diri sendiri bahkan tak jarang lebih peduli dengan gadgetnya.

Padahal momen kebersamaan itu akan lebih sempurna jika dihabiskan dengan mengobrol bersama. Obrolan ringan tak masalah. Bukan berarti tidak boleh melakukan hal lain, minimal jika tidak terlalu penting, cobalah untuk fokus dengan orang di dekat kita.

Beruntung aku bertemu teman kecil selama menunggu di sini, meski tak lama, tapi aku menemukan banyak sekali pelajaran dari interaksi singkat ini.

Tentang berbagi, kasih sayang, menghargai, serta adab.

Semoga sifat baiknya terus diterapkan sampai dewasa ya dek.

Terima kasih sudah nemenin kakak bisik-bisik manja.


Tuesday, 5 December 2023

Koleksi

Baru saja aku berbincang dengan teman lama yang sudah lama tidak kutemui.
Awalnya dia enggan berbicara, tercipta jeda yang cukup panjang hingga aku mulai iseng menghitung rintik hujan di luar sana.
Perlahan, satu kata meluncur dari bibirnya.
'Koleksi'
Akupun menoleh, menghentikan aktivitas konyol yang baru saja kulakukan.
Mulai memasang telinga lebih tajam, khawatir terlewatkan satu katapun darinya.
Jeda lagi.
Baiklah, kutunggu lagi dia untuk kembali berbicara.
Kali ini aku iseng mengetuk-ngetuk kepalaku, bertanya-tanya apakah otakku masih ada di dalam sana.

"Aku bodoh karena telah percaya."

Lagi-lagi kuhentikan aktivitas absurdku, mengubah posisi duduk, sempurna menghadapnya.
Seketika itu, mengalir deras ceritanya.

Ahhh...
Ternyata dia terluka karena kembali percaya bahwa akan ada laki-laki di luar sana yang mampu bertanggung jawab dengan kata-katanya.
Karena nyatanya, mereka hanya menganggap wanita sebagai koleksi, yang bisa dipilih saat dibutuhkan, dan ditinggalkan saat tak lagi berharga.

Wahhh... 
Tentu saja aku gelagapan saat mendapati bahunya mulai berguncang dan perlahan isakan itu menjadi kencang, sesekali sesenggukan.
Aku sempat berniat untuk memeluknya, tapi aku sendiri ikut kesal padanya.
Baiklah, biarkan saja dulu dia menangis.
Mungkin sekarang giliranku memarahinya.

Wahai....
Teman lamaku.
Kuberikan satu nasihat padamu.
Berharap pada manusia itu, menyakitkan.
Karena sejatinya, hati mereka sangat gampang berubah.
Bukankah ini bukan kali pertama kau terluka?
Tapi kenapa dengan bodohnya kau kembali terluka karena alasan yang sama?
Kau kira di luar sana masih banyak laki-laki yang mampu berkomitmen, bertanggung jawab pada kata dan sikapnya?
Tidak!
Jikapun ada, itu langka. Ajaib sekali jika kau menemukannya.
Tangismu makin kencang, ditingkahi derasnya hujan dan gemuruh di langit sana.
Kalian sedang berlomba mengeraskan suarakah?
Astaga... Aku hanya penonton kali ini.
Tidak, komentator lebih tepatnya.

Kau bilang, kau terluka saat mengetahui orang terdekatmu malah yang mengatakan bahwa wanita itu hanya koleksi, dengan dalih diapun pernah terluka karena pernah setia pada wanita.
Maka dia yang semula korban berubah menjadi pelaku dengan alasan tak ingin lagi terluka.
Tapi menjadi melukai?
Kekonyolan macam apa ini?
Apakah kalian sedang menciptakan lingkaran setan?
Ajaran sesat dari mana?
Jika ingin diperlakukan dengan baik, maka berlakulah baik.
Jika berlaku jahat, jangan salahkan alam saat berkeroyok membalas kejahatanmu.
Apa yang kau lakukan, akan ada ganjarannya.
Entah itu perbuatan baik, maupun perbuatan buruk.

Ohhhh.... Ayolah berhenti menangis, lihat matamu mulai membengkak.
Kau yang tak terbiasa menangis, mendadak menangis, lihatlah jadinya, membuka mata pun kau sulit.
Maaf kawan, aku ingin tertawa melihat sosokmu malam ini.
Ke mana dirimu yang begitu dingin dan tidak peduli pada sekitar.
Kau yang berdiri sendiri dengan angkuhnya tanpa pernah mau diusik bahkan kerap membentengi dirimu dengan dinding tak kasat mata agar orang tak mendekat.
Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?
Sejak kapan kau menjadi peduli?
Memikirkan hal-hal remeh temeh seperti ini?
Bukankah dulu kau selalu menertawakan kebodohan mereka yang masih percaya pada kata-kata manis.
Baiklah, kali ini aku yang menertawakan kebodohamu.

Apa?
Ahhh... Iya baiklah, kau hanya terluka karena kata-kata 'koleksi' yang dilontarkan temanmu sembari tertawa.
Tertawa di hadapanmu yang pernah menjadi korban dari para kolektor?
Kau yang masih belum sempurna sembuh, ditampar kenyataan bahwa orang terdekatmu, yang kau percaya akan berbeda dengan laki-laki bangsat di luar sana, ternyata sosoknya lebih menyeramkan dari yang kau bayangkan?
Saat menganggap mempermainkan hati seseorang itu menyenangkan.
Membuatmu yang sedang berusaha merajut mimpi bahwa masih ada tersisa makhluk asing di luar sana yang mau menerimamu apa adanya, yang mau memperjuangkanmu tanpa berhenti di tengah jalan, yang mau menemani tiap langkahmu dan berjuang bersama.
Nyatanya ... Tak ada.
Kau tetap sendiri.
Memeluk lukamu sendiri, pun menyembuhkannya sendiri.

Yah...
Baiklah, setidaknya aku menikmati ekspresi mu malam ini.
Kau lebih ekspresif, tidak seperti biasa. Kaku, seperti kanebo kering.
Tapi aku lebih suka melihat sosokmu yang dingin.
Kembalilah pada dirimu yang dulu, yang tak peduli, yang acuh, yang dingin.
Karena jika kau melemah, kau akan kembali terluka.
Ingat....
Aku mungkin bisa menemanimu.
Tapi ada saatnya aku tak ada bersamamu.
Lindungi dirimu sendiri.
Kenakan kembali topeng yang biasa kau bawa selama ini.

Lihat...
Hujan mulai berhenti.
Wah ... Tangismu pun berhenti.
Ayo kita pulang, istirahat. Ini sudah larut malam.

Wednesday, 23 November 2022

Our Story

 Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu lemah, cengeng, penakut, dsb. 

Karena kadar kesanggupan seseorang berbeda-beda dan bisa jadi kita belum pernah berada di posisi mereka maka dengan mudahnya kita melontarkan kata-kata demikian. 

Dalam hidup, kita dihadapkan dengan banyak pilihan, maka tugas kita memilih yang terbaik dan akan lebih baik lagi jika kita melibatkan Sang Pencipta dalam segala urusan. 

Benar, hidup ini bagaikan roda. Adakalanya kita berada di atas, di tengah, bahkan di titik terendah. Kecewa, marah, harap, bahagia. Tak jarang kita mengumpat, berteriak marah karena dipecundangi dunia. Merasa hidup tidak adil, mengeluh, meratap, hingga menangis mengiba.

Sungguh, tidak ada yang salah dengan sebuah tangisan. Jangan membuat batasan bahwa tangisan adalah kadar seseorang cengeng, lemah. Justru bagi mereka yang kuat, tangisan adalah titik terendah di mana mereka sudah tidak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, maka tangisan berbicara. 

Pun jangan membuat batasan hanya perempuan yang boleh menangis, Laki-laki tidak boleh, dianggap lemah. Sungguh itu paradigma yang menyesatkan. 

Silakan menangis, tanpa harus merasa malu, tanpa harus berfikir gendermu. Setidaknya dengan menangis membuktikan bahwa kita masih memiliki hati, kita masih seorang manusia. Dengan catatan, lakukan secukupnya, di tempat semestinya, karena hal yang berlebihan tidak pernah baik hasilnya.

Silakan meluapkan emosi, berbagi cerita. Ceritakan apa yang kita rasakan, kepada orang yang kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Karena tidak semua orang yang bertanya "kenapa?" benar-benar peduli dengan apa yang kita alami, lebih banyak sekedar ingin tahu untuk kemudian berlalu. 

Berceritalah, kitapun bisa meluapkan emosi kita lewat tulisan. Takut jika dibaca seseorang, ketahuan rahasia kita, langsung hapus atau bakar begitu kita selesai meluapkan emosi kita. Lebih baik lagi, jika kita bercerita pada Sang Pencipta, dijamin cerita kita akan lebih aman. Bisa saja kita diberikan cobaan, karena Dia rindu mendengar rintihan kita, cemburu karena kita sudah lama abai pada-Nya dan perlahan menjauh. Dan sungguh, dari semua do'a kita, Allah tidak pernah menolaknya. Dia mempunyai 3 jawaban: "Iya/Nanti/Aku punya yang lebih baik untukmu".

Maka tugas kita adalah berusaha, menunggu, menunggu jawaban itu datang. Tidak sekarang, nanti. Tidak di dunia, di akhirat. Jangan pernah putus harapan, karena jawaban itu pasti ada. Jawaban dari setiap do'a kita, harapan kita, pinta kita. 

Jika memang saat ini kendaraan yang kita kendarai sedang melalui jalan berbatu, mengalami guncangan hebat. Jangan pernah putus harapan. Kita sudah melakukan yang terbaik. Jika memang lelah, ambillah istirahat sejenak, menyiapkan perbekalan, menyusun rencana untuk ke depan. Kemudian bangkit dengan lebih gagah lagi.

Cintai dan hargai diri kita terlebih dulu untuk kemudian mencintai dan menghargai orang lain, maka kita akan dicintai dan dihargai orang lain. Lakukan dengan ikhlas. 

Dekap rasa sakit itu jadikan pembelajaran ke depan, simpan kenangan itu di tempat semestinya untuk kita temui dengan senyum lebar di kemudian hari. Hingga nanti, saat semuanya membaik kita bisa mengatakan pada kenangan pahit yang itu. "Ahhh... Aku pernah berada di masa ini dan kini aku sudah berada di masa yang lain. Terima kasih sudah menjadi kuat. Terima kasih sudah bertahan."

 


 


Sunday, 15 November 2020

Aku Ingin Kembali

 

sumber: google.com
 

Kemarin aku baru saja menyelesaikan sebuah pelatihan yang membuatku tersadar akan beberapa hal. Aku melupakan sisi nikmat di mana aku tenggelam dalam bacaan, menyibukkan diri di antara tumpukan buku, melelahkan jemari dengan menulis apa saja yang bisa kutulis, belajar banyak hal untuk kemudian tersenyum menertawakan kebodohanku dan betapa dangkalnya ilmuku.

Hari pertama pelatihan, kelas bergabung. Ada satu sosok wanita cantik yang menarik perhatianku. Kritis, pintar, dan cantik. Itu yang bisa kuungkapkan untuk menggambarkan sosok wanita mengagumkan itu. Sosok itu juga yang menyadarkanku bahwa sudah lama aku meninggalkan kebiasaanku sekaligus membuatku iri akan potensi yang dimilikinya.

Dengan dua buah kalimat, "Duta Bahasa" dan "Kulahap habis buku itu.", cukup membuat emosiku bergejolak. Ada rasa iri, malu, kagum, sekaligus rindu. Mendadak pipiku terasa hangat. Bukan karena menangis, karena aku sedang menahan gejolak keempat perasaan itu.

Aku terlempar ke masa di mana aku pernah begitu menikmati saat-saat menenangkan menghabiskan waktu di perpustakaan kota atau perpustakaan sekolah maupun toko buku. berlama-lama di sana, dengan jemari yang menelusuri setiap lekukan buku yang hampir semuanya menarik menurutku.Ingin sekali kuborong semua buku itu untuk kemudian kupindahkan ke rumahku. Itulah kenapa aku getol sekali ingin mengoleksi buku untuk kemudian membuat perpustakaan mini di rumahku. Sayangnya bukuku terlanjur dihibahkan ibu kepada tukang loak, beruntung aku masih bisa menyelamatkan buku-buku semasa kuliah.

Aku ingat, jika senggang di rumah atau di kantor, aku akan menuliskan apapun untuk mengisi waktu luang, jika kebetulan saat itu aku sedang malas membaca. Aku orang yang suka mengamati, maka apa yang kuamati akan kutulis dalam buku untuk kemudian kupindahkan ke dalam laptop. Aku akan menuliskan hal-hal yang menurutkan bisa bermanfaat untukku dan orang lain. Kupilah-pilih mana yang baik untuk kutulis mana yang tidak. Biasanya aku menulis untuk mengingatkanku sendiri, ku share dengan tujuan siapa tahu bisa bermanfaat untuk orang lain.

Maka keliru jika orang mengira aku menulis untuk menyindir pihak tertentu, karena sejatinya aku menulis untuk mengingatkn diriku sendiri mana yang baik dan mana yang tidak.

Tapi, kebiasaan itu sudah lama kutinggalkan. Mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan karena hal sepele aku melupakan kebiasaan itu. Kehilangan data  tentang semua karya tulis baik fiksi maupun non fiksi sekaligus rusaknya notebook beberapa waktu lalu membuatku seolah patah sayap. Jika sebagian orang berfikir kenapa tidak memulai lagi.

Kalian tidak akan mengerti gejolak perasaan saat meneruskan cerita yang sudah ada dan menuliskan yang baru. Ada satu karya fiksiku yang belum kurampungkan, karya yang benar-benar membuatku mencurahkan pikiran dan waktuku untuk mengolah diksi apa yang pantas kumasukkan ke dalamnya. Sudah kucoba untuk menulis kembali cerita yang sama, tapi selalu ada yang kurang di dalamnya. Ada kata-kata yang tidak mengena, berbeda dengan tulisan awalku. Tulisan kedua tidak akan sama dengan tulisan pertama. Tulisan ini kosong, kehilangan jiwanya.

Aku juga mencoba untuk mencari siapa tahu aku menyimpan tulisan itu di tempat lain, tapi tidak, aku tidak pernah memindahkannya. Hambar, aku seolah kehilangan jiwa.

Seseorang pernah membaca cerita fiksiku itu dan menilai jika kata-kata yang kugunakan terlalu sarkasme serta menanyakan apa tujuanku menulis,

Kuakui aku ingin menjadi penulis, tapi dia membantah jika tulisanku terlalu sarkas, publik tidak akan menerimanya. Jika ingin menjual karya, aku harus menyesuaikan dengan minat pembaca. Tapi, aku tidak peduli. Aku menulis untuk kesenanganku, di samping aku ingin orang mengenalku dengan ciri khasku dalam menulis.

Jika aku meniru, mengubah gayaku, itu menjadi bukan aku. Bukankah penulis mudah dikenali karyanya karena gaya penulisannya? Aku menuliskan berdasarkan fakta, lagipula itu cerita fiksi, tak melulu membahas logika, pun tidak melulu terercaya dalam perasaan haru biru. Aku benci roman picisan yang mendayu.

Aku yang terbiasa membuat ending menyedihkan dengan mengakhiri hidup tokoh utama, diprotesnya habis-habisan, Hey! Ini tulisanku, ini ceritaku, dan ini gayaku.

Baiklah, kembali lagi ke awal cerita. Aku iri juga iri pada gadis itu, dia mengingatkan dengan sosokku yang dulu, dan sekarang aku meringkuk mengesampingkan kesenangan itu untuk kemudian terjebak pada hal yang sia-sia.

Aku mendambakan kebebasanku, sepak terjangku yang terkadang terlalu spontan, kata-kataku yang lugas.

Aku... Ingin kembali.

Hei, Orie tokoh utama dalam cerita fiksiku, bangkitkan untuk untuk kembali mengembangkan kisahmu. Aku terlalu lama tertidur dan meringkuk di sudut terjauh jiwaku.