Showing posts with label Abstrak. Show all posts
Showing posts with label Abstrak. Show all posts

Wednesday, 5 February 2025

Percakapan Iblis dan Bidadari

Belakangan ini, iblis mulai kebingungan dengan perubahan sang bidadari yang dikenalnya selama ini. Sang Bidadari yang kerap tersenyum ramah padanya, sekalipun kehadirannya membawa petaka, tak mampu membuat sang bidadari marah atau bersedih.

Tapi kini, sang Bidadari mulai mengabaikannya, seolah kembali ke sosoknya yang pertama kali iblis temukan. Sosok yang begitu dingin dan tak peduli pada sekitarnya. Sosok yang dia bentuk dari kejatuhannya pertamanya setelah habis-habisan ditipu oleh seorang manusia yang membuatnya buta akan cinta. Sejak saat itu, sang bidadari menjadi sosok yang tak tersentuh, tersenyum seadanya, berbicara seadanya.

Dia kembali hidup dan lebih berwarna beberapa bulan lalu, tapi sayangnya kembali sang iblis melihat pemandangan tragis dari sosok sang bidadari.

Kejatuhannya yang kedua. Hanya karena kenaifannya, yang begitu mencintai seorang manusia, manusia yang begitu spesial baginya. Begitu dijaga, dia pastikan selalu ada untuknya, mengabulkan semua inginnya, mengalah pada inginnya, melindunginya, melangitkan namanya untuk kebahagiaannya. Tapi apa yang dia terima?

Cacian, makian, kebencian, fitnah dan hal buruk lainnya. Hebatnya lagi, setelah mendapatkan semua perlakuan itu, sang Bidadari justru menyalahkan dirinya sendiri. Membela manusia spesialnya, membuat terluka manusia lain yang benar-benar peduli padanya.

Mata itu kehilangan sinarnya, perlahan redup bersama jiwanya.

 

“Haruskah ku hancurkan dunia agar tidak ada lagi makhluk yang bernama manusia?”

Setidaknya inilah percakapan pertama yang terjadi setelah iblis jengah melihat bidadari yang terlihat begitu menyedihkan.

Dengan cepat sang bidadari menggeleng, “Kau tidak berhak melakukannya.”

Sang Iblis terkekeh, “Kau tahu bidadariku yang naif. Kami cukup membisikkan kata-kata manis, mereka manusia serakah akan bergerak dengan sendirinya bahkan terkadang tanpa kami minta. Mereka berimprovisasi, mengacaukan tatanan dunia, merusaknya.”

“Tidak semuanya. Masih ada yang merawat dan memperbaikinya.”

“Hah! Kau bela saja terus mereka, tapi lihat? Nasibmu berakhir menyedihkan di tangan makhluk yang begitu kau cintai bernama manusia.”

“Itu bukan salahnya.”

Sang Iblis Kembali terbahak. “Wah… Sang bidadari kita ini benar-benar berwelas asih, seperti yang dirumorkan. Tapi tidakkah kau lihat apa yang dilakukan manusia yang kau cintai di belakangmu? Bahkan setelah ketiadaanmu di sisinya, dia terus-menerus mengumpatmu, membencimu, memfitnahmu. Kau tidak marah?”

Sang Bidadari menggeleng membuat Sang Iblis mendecak kesal.

“Kau tahu kan apa yang dia lakukan? Kau lihat sendiri buktinya yang diberikan manusia lain padamu?”

Tak ada jawaban, Iblis kembali melanjutkan.

“Pertama, dia menyalahkanmu karena tidak memilihnya. Berkoar ke sana kemari tentang betapa terlukanya dia, bodohnya kau malah mengamini dan menganggap bahwa itu memang salahmu.

Kedua, dia mulai mengarang indah dengan mengatakan kau hewan berwujud manusia, nyatanya kau bidadari yang menyelinap ke dunia manusia.

Ketiga, dia kembali membuat dongeng dengan mengatakan kau tukang selingkuh. Kau tahu? Ini terdengar konyol sekali. Aku yang murni seorang iblispun tertawa melihatnya. Bagaimana mungkin dia menuduhmu selingkuh dan berkhianat? Sedangkan selama ini tak pernah ada kejelasan apapun tentang hubungan kalian. Bahkan dengan mulutnya sendiri, dia mengakuimu sebagai teman, rekan kerja kepada orang-orang yang bertanya.

Kau menahan diri untuk tidak terluka, memaklumi sikapnya. Kau menekan semua rasa cemburu, kesepian, tak dianggap. Meski kau tahu kau tak pernah spesial baginya, kau tetap berdiri di sisinya, menemaninya, menjaganya, melakukan apapun yang kau bisa. Tak peduli meski harus berdebat dengan orang-orang yang tak suka, tak peduli harus mengalah pada keegoisannya, tak peduli meski harus terluka dengan semua perlakuannya. Kau tetap berdiri di sisinya seperti orang bodoh.

Kau yang sejak awal tak pernah berniat untuk memberikan cinta setelah pernah terluka begitu hebat, lengah dengan membiarkan pertahananmu menurun, waspadamu menghilang, kau terjebak dalam perasaan tak perlu. Hingga akhirnya kau memilih untuk tetap menemaninya hingga dia menemukan sosok yang dia cari selama ini. Wahhh… lapang dada sekali bidadari kita ini. Khawatir benar manusia spesialnya terluka sampai rela mengorbankan dirinya sendiri.

Lucunya juga, dia sebenarnya tahu perasaanmu tapi tak berniat untuk bertindak. Menikmati semua perhatianmu tapi tak paham tentang menderitanya kau dengan pemikiran bahwa semua perasaan itu hanya kau rasakan sendiri.

Hingga kau memantapkan hati, kau mundur memilih orang lain yang lebih bisa menghargai arti kehadiranmu. Manusia spesialmu marah, tak terima. Membuatmu nyaris melanggar janjimu pada manusia lainnya yang juga hendak melepasmu karena melihat betapa matamu selalu berbinar bersama manusia spesialmu.

Beruntung, manusia lainnya mencegahmu. Dan lebih beruntung lagi, manusia spesialmu justru menjauh darimu, tak mengizinkanmu untuk mendekat. Andai dia bersikap seperti biasa, kau pasti goyah. Diabaikan dan diasingkan saja kau masih bodoh terus mencarinya, terus memikirkannya, terus menyalahkan dirimu sendiri karena dia terluka. Padahal andai kau mau berfikir sedikit saja, seperti yang manusia khususmu bilang, kau tidak bersalah.

Itu murni salah manusia spesialmu. Kenapa dia menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan dalih menunggu moment yang tepat. Mana dia peduli dengan lukamu karena mengira hanya kau yang memiliki perasaan itu.”

Iblis menjeda sejenak kalimatnya, memperhatikan raut wajah sang Bidadari. Tapi sosok itu bungkam.

“Kesalahannya yang tidak dengan cepat mempertegas hubungan kalian, dia lemparkan kepadamu dengan mengatakan kau berkhianat?” Iblis Kembali terbahak.

“Aku tidak pernah tahu jika seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki lebih memikirkan moment daripada berfikir rasional untuk segera bertindak sebelum kau direbut orang lain. Dia terlalu yakin bahwa kau akan selalu ada untuknya. Dia lupa jika kau pernah terluka dan kau bisa dengan kejam menikam hatimu sendiri untuk segera mengakhiri penantian yang melelahkan, mimpi-mimpi dan harapan. Kau telah belajar banyak dari penantian yang sia-sia.

Dia terlalu terlena dengan pemikiran itu. Padahal dia jelas tahu beberapa lelaki berusaha mendekatimu, tapi dia merasa aman karena kau tak pernah menggubrisnya. Sedangkan dia? Dengan santainya dekat dengan banyak wanita. Membuatmu makin merasa kerdil dan berfikir kau tak pernah punya kesempatan. Tapi lihat? Saat dia tahu kau memilih orang lain dan menyerah pada penantianmu, dia marah. Tak pernah melihat bagaimana tingkahnya selama ini dekat dengan perempuan manapun, menikmati kecemburuanmu. Tanpa tahu malu mengatakan dia tahu kau cemburu, tahu kau menyukainya, tapi tak berniat melakukan apapun, bertahan dengan dalih menuggu moment.

Lihat? Akibat kesalahannya yang terlalu terlena, kau pergi. Dia marah, memakimu, menyebarkan fitnah bahwa kau berselingkuh. Konyol sekali! Selingkuh itu hanya berlaku bagi mereka yang memiliki hubungan pacaran atau menikah. Sedangkan kalian? Tak punya hubungan apapun dengan siapapun. Dia bahkan mengumpatmu dengan kata-kata yang tidak pantas. Apa? Ahhh… perempuan yang lebih menjijikkan dari seorang pelacur? Wanita yang tak cukup dengan satu k****l. Sungguh bidadariku. Bangsa kami terbahak melihatnya.

Bodohnya, kau terluka. Menangis. Kembali dihantui rasa sakit. Lagi… kau menyakiti orang-orang di sekitarmu yang benar-benar peduli padamu. Mereka memintamu untuk tidak lagi memikirkannya. Bodohnya kau terus memeluk lukamu dan juga memeluk luka manusia spesialmu. Membuatmu dihantui mimpi buruk.

Manusia-manusia lain yang begitu menyayangimu bahkan menawarkan diri untuk melindungimu, meluruskan semuanya, tapi… lagi-lagi kau menghalanginya, nyaris mereka menyerah untuk menyadarkanmu. Hingga mereka mengatakan bahwa mereka terluka akan sikapmu yang mengabaikan peduli mereka. Kau masih saja peduli pada manusia spesialmu yang jelas-jelas ingin menyakitimu. Itu kata-kata yang cukup manjur untuk membuatmu berhenti melakukan kebodohan. Karena mereka tahu, kau tak akan mau melihat orang lain terluka, kau lebih memilih terluka sendiri daripada harus menyakiti orang lain.

Harusnya kau sadar. Sekalipun kau pelacur, bukan haknya untuk menghakimimu. Tuhan saja tak pernah menghakimi hamba-Nya.”

Sang bidadari terdiam, iblis menghentikan amukannya dan memilih meninggalkan sang bidadari sendirian termenung.

Monday, 1 July 2024

Gadis Kecil dan Permen Warna-Warni

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang gadis kecil di sebuah Rumah sakit.

Di tengah riuhnya suara di sekitar, mataku tertuju pada seorang bocah perempuan yang terlihat duduk diam.

Entah awalnya dari mana, akupun tak tahu awal mula dia muncul di depanku kapan.

Aku baru menyadari kehadirannya saat dengan sudut mataku, kulihat beberapa kali dia mencuri pandang padaku.

Iseng, kuputuskan untuk memergokinya.

Tentu saja dia segera membuang muka, terlihat menggemaskan menurutku.

Aku yang semula mengantuk, perlahan mengumpulkan kesadaran utuh.

Naluriku untuk mendekati sesuatu yang imut segera muncul.

Jika bocah lain terlihat berisik, berteriak, mengobrol dan bermain. Berbeda dengannya, gadis itu lebih memilih duduk diam di sebelah bapak-bapak yang tengah sibuk dengan handphonenya.

Sesekali dia mengayunkan kakinya, untuk kemudian menoleh kembali padaku.

Tentu saja aku segera memasang senyum termanis yang kupunya, lupa jika maskerku tentu menutupinya.

Saat kulihat dia membuang muka untuk kedua kalinya, kuputuskan untuk mendekat.

Aku teringat dengan permen yang pernah kubeli di minimarket dekat rumah, kebetulan aku membawanya.

Dalam benakku, biasanya bocah suka dengan permen atau hal-hal manis, apalagi permennya berwarna-warni.

Sebatang permen kusodorkan mendekati jemarinya. Tapi dia tidak merespon, sedikit kecewa, kucoba lagi. Tangannya seolah mau mengambil tapi ternyata tidak, bahkan dia memutuskan untuk tidak menoleh lagi padaku.

Baiklah, harga dirimu mahal juga bocah.

Maka kubiarkan permen itu masuk kembali ke tempat asalnya.

Selang beberapa lama, saat aku sendirian karena rekanku tengah melakukan pemeriksaan, aku tetap mengamati bocah kecil itu.

Kembali kukeluarkan permen yang tadi sempat kumasukkan lagi.

Kupegang sembari menimbang kapan waktu yang tepat untuk memberikannya.

Sempat terfikir untuk memberikan permen itu melalui orang tuanya, karena biasanya anak-anak terlalu malu mengambil sesuatu dari orang asing tanpa restu dari orang tua.

Sembari mengamati situasi, akhirnya seorang bapak yang duduk selisih satu kursi dengan bocah itu berdiri, mengulurkan tangan pada sang bocah dan mengajaknya pergi.

Bocah itu menurut tanpa banyak bertanya. Mengikuti langkah ayahnya mendekati meja resepsionis tempat beberapa perawat berjaga.

Ah... Rasanya aku seperti orang patah hati, saat kulihat langkahnya menjauh bersama sang ayah. Bahkan mereka menolehpun tidak.

Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan pada permen yang gagal menemukan pemilik barunya.

Ingin kuberikan pada bocah lain, tapi hati terlanjut menyesal untuk tidak memaksa bocah tadi menerimanya.

Tapi seperti keajaiban, dia kembali datang bersama sang ayah dan kali ini duduk tepat di sebelahku.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuulurkan permen tersebut kepada si bocah, tentu saja lebih dulu izin pada ayahnya.

Saat ayahnya memberi izin dan meminta bocah itu menerima, barulah permennya sampai ke tangan yang tepat.

Tentu saja aku lega.

Tapi aku kembali dibuat bertanya-tanya, saat kudapati setelah beberapa lama permen itu hanya dia genggam.

Tidak tertarik kah atau tidak suka?

Lagi-lagi aku kecewa, tapi yah... Mau bagaimana lagi, minimal aku sudah menyerahkannya, daripada nanti kepikiran sampai beberapa hari ke depan.

Selang berapa lama kemudian, ayahnya berdiri dan meminta bocah itu menunggu.

Dengan takzim dia mengangguk, duduk manis sembari menatap permennya.

Kuberanikan diri untuk bertanya, "Ga' dimakan permennya?"

Dia menatapku lalu melihat permennya, maka kuputuskan memberi bantuan untuk membuka permennya karena berfikir mungkin dia kebingungan bagaimana cara membukanya.

Begitu terbuka, kuulurkan kembali padanya. Diterimanya dengan senyum manis dan segera dinikmatinya.

Bahkan saat kutanya apakah permennya enak, dia menjawab 'enak' dengan riang.

Aihhhh.... Ingin kuculik dia.

Tapi lagi-lagi aku dibuat kecewa saat permen itu kembali hanya digenggamnya.

Aktivitas menjilat permen berhenti sempurna.

Mau tak mau aku memperhatikannya, bahkan khawatir permen itu jatuh dan terbuang percuma.

Heiii.... Bukan aku tidak ikhlas, tapi takut bocah itu menangis saat permennya jatuh. Meski dalam hati juga bertanya-tanya, kenapa permennya tidak segera dihabiskan.

Karena khawatir, kutawarkan diri untuk kembali membungkus permen itu. Biar bisa dia nikmati nanti.

Lagi-lagi gadis itu tidak menolak, beruntung aku belum membuang bungkus permennya.

Setelah kuserahkan kembali, suaranya terdengar.

"Nanti makan sama Abang."

Ahhhh.... Saat itu juga terjawab pertanyaan ku, dia hanya bocah kecil yang ingin berbagi apa yang dia punya. Beruntung sekali abangnya punya adik semanis, seimut dan seperhatian ini.

Seolah mulai terbuka, dia berbicara padaku, menyebut ayahnya, ibunya, abangnya.

Aku hanya tertawa saat mendengar dia bicara dengan nada seperti berbisik membuatku harus mencondongkan tubuh kearahnya agar bisa mendengar suaranya.

Manis.... Sekali.

Bocah cantik dan imut, serta tingkahnya yang menggemaskan. Aku suka.

Sesekali dia memperhatikan bocah lain sedang makan, dia sempat bertanya tentang sesuatu padaku, tapi karena suaranya terlalu kecil aku tak bisa menangkap dengan jelas maksud dari pembicaraannya.

Tidak lama kami berbisik-bisik manja, karena ayahnya memanggil.

Nurut dong dia, tentu saja.

Dengan langkah riang dia mendekat ke ayahnya dan ternyata Abang yang dari tadi dia sebutkan juga datang.

Dia menjadi lebih cerewet ternyata. Mengatakan banyak hal pada abangnya, beruntung abangnya juga terlihat menyayanginya.

Mereka sempat kembali duduk di depanku.

Awalnya abangnya sempat mengeluarkan hp, tapi kembali dimasukkannya saat gadis itu mengajak berbicara, bercerita.

Ahhh... Kakak beradik yang manis.

Yang mengerti tentang pentingnya fokus pada orang di sisimu saat bersamanya, bukan mengabaikan dan sibuk dengan diri sendiri bahkan tak jarang lebih peduli dengan gadgetnya.

Padahal momen kebersamaan itu akan lebih sempurna jika dihabiskan dengan mengobrol bersama. Obrolan ringan tak masalah. Bukan berarti tidak boleh melakukan hal lain, minimal jika tidak terlalu penting, cobalah untuk fokus dengan orang di dekat kita.

Beruntung aku bertemu teman kecil selama menunggu di sini, meski tak lama, tapi aku menemukan banyak sekali pelajaran dari interaksi singkat ini.

Tentang berbagi, kasih sayang, menghargai, serta adab.

Semoga sifat baiknya terus diterapkan sampai dewasa ya dek.

Terima kasih sudah nemenin kakak bisik-bisik manja.


Wednesday, 23 November 2022

Our Story

 Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu lemah, cengeng, penakut, dsb. 

Karena kadar kesanggupan seseorang berbeda-beda dan bisa jadi kita belum pernah berada di posisi mereka maka dengan mudahnya kita melontarkan kata-kata demikian. 

Dalam hidup, kita dihadapkan dengan banyak pilihan, maka tugas kita memilih yang terbaik dan akan lebih baik lagi jika kita melibatkan Sang Pencipta dalam segala urusan. 

Benar, hidup ini bagaikan roda. Adakalanya kita berada di atas, di tengah, bahkan di titik terendah. Kecewa, marah, harap, bahagia. Tak jarang kita mengumpat, berteriak marah karena dipecundangi dunia. Merasa hidup tidak adil, mengeluh, meratap, hingga menangis mengiba.

Sungguh, tidak ada yang salah dengan sebuah tangisan. Jangan membuat batasan bahwa tangisan adalah kadar seseorang cengeng, lemah. Justru bagi mereka yang kuat, tangisan adalah titik terendah di mana mereka sudah tidak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, maka tangisan berbicara. 

Pun jangan membuat batasan hanya perempuan yang boleh menangis, Laki-laki tidak boleh, dianggap lemah. Sungguh itu paradigma yang menyesatkan. 

Silakan menangis, tanpa harus merasa malu, tanpa harus berfikir gendermu. Setidaknya dengan menangis membuktikan bahwa kita masih memiliki hati, kita masih seorang manusia. Dengan catatan, lakukan secukupnya, di tempat semestinya, karena hal yang berlebihan tidak pernah baik hasilnya.

Silakan meluapkan emosi, berbagi cerita. Ceritakan apa yang kita rasakan, kepada orang yang kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Karena tidak semua orang yang bertanya "kenapa?" benar-benar peduli dengan apa yang kita alami, lebih banyak sekedar ingin tahu untuk kemudian berlalu. 

Berceritalah, kitapun bisa meluapkan emosi kita lewat tulisan. Takut jika dibaca seseorang, ketahuan rahasia kita, langsung hapus atau bakar begitu kita selesai meluapkan emosi kita. Lebih baik lagi, jika kita bercerita pada Sang Pencipta, dijamin cerita kita akan lebih aman. Bisa saja kita diberikan cobaan, karena Dia rindu mendengar rintihan kita, cemburu karena kita sudah lama abai pada-Nya dan perlahan menjauh. Dan sungguh, dari semua do'a kita, Allah tidak pernah menolaknya. Dia mempunyai 3 jawaban: "Iya/Nanti/Aku punya yang lebih baik untukmu".

Maka tugas kita adalah berusaha, menunggu, menunggu jawaban itu datang. Tidak sekarang, nanti. Tidak di dunia, di akhirat. Jangan pernah putus harapan, karena jawaban itu pasti ada. Jawaban dari setiap do'a kita, harapan kita, pinta kita. 

Jika memang saat ini kendaraan yang kita kendarai sedang melalui jalan berbatu, mengalami guncangan hebat. Jangan pernah putus harapan. Kita sudah melakukan yang terbaik. Jika memang lelah, ambillah istirahat sejenak, menyiapkan perbekalan, menyusun rencana untuk ke depan. Kemudian bangkit dengan lebih gagah lagi.

Cintai dan hargai diri kita terlebih dulu untuk kemudian mencintai dan menghargai orang lain, maka kita akan dicintai dan dihargai orang lain. Lakukan dengan ikhlas. 

Dekap rasa sakit itu jadikan pembelajaran ke depan, simpan kenangan itu di tempat semestinya untuk kita temui dengan senyum lebar di kemudian hari. Hingga nanti, saat semuanya membaik kita bisa mengatakan pada kenangan pahit yang itu. "Ahhh... Aku pernah berada di masa ini dan kini aku sudah berada di masa yang lain. Terima kasih sudah menjadi kuat. Terima kasih sudah bertahan."

 


 


Sunday, 15 November 2020

Aku Ingin Kembali

 

sumber: google.com
 

Kemarin aku baru saja menyelesaikan sebuah pelatihan yang membuatku tersadar akan beberapa hal. Aku melupakan sisi nikmat di mana aku tenggelam dalam bacaan, menyibukkan diri di antara tumpukan buku, melelahkan jemari dengan menulis apa saja yang bisa kutulis, belajar banyak hal untuk kemudian tersenyum menertawakan kebodohanku dan betapa dangkalnya ilmuku.

Hari pertama pelatihan, kelas bergabung. Ada satu sosok wanita cantik yang menarik perhatianku. Kritis, pintar, dan cantik. Itu yang bisa kuungkapkan untuk menggambarkan sosok wanita mengagumkan itu. Sosok itu juga yang menyadarkanku bahwa sudah lama aku meninggalkan kebiasaanku sekaligus membuatku iri akan potensi yang dimilikinya.

Dengan dua buah kalimat, "Duta Bahasa" dan "Kulahap habis buku itu.", cukup membuat emosiku bergejolak. Ada rasa iri, malu, kagum, sekaligus rindu. Mendadak pipiku terasa hangat. Bukan karena menangis, karena aku sedang menahan gejolak keempat perasaan itu.

Aku terlempar ke masa di mana aku pernah begitu menikmati saat-saat menenangkan menghabiskan waktu di perpustakaan kota atau perpustakaan sekolah maupun toko buku. berlama-lama di sana, dengan jemari yang menelusuri setiap lekukan buku yang hampir semuanya menarik menurutku.Ingin sekali kuborong semua buku itu untuk kemudian kupindahkan ke rumahku. Itulah kenapa aku getol sekali ingin mengoleksi buku untuk kemudian membuat perpustakaan mini di rumahku. Sayangnya bukuku terlanjur dihibahkan ibu kepada tukang loak, beruntung aku masih bisa menyelamatkan buku-buku semasa kuliah.

Aku ingat, jika senggang di rumah atau di kantor, aku akan menuliskan apapun untuk mengisi waktu luang, jika kebetulan saat itu aku sedang malas membaca. Aku orang yang suka mengamati, maka apa yang kuamati akan kutulis dalam buku untuk kemudian kupindahkan ke dalam laptop. Aku akan menuliskan hal-hal yang menurutkan bisa bermanfaat untukku dan orang lain. Kupilah-pilih mana yang baik untuk kutulis mana yang tidak. Biasanya aku menulis untuk mengingatkanku sendiri, ku share dengan tujuan siapa tahu bisa bermanfaat untuk orang lain.

Maka keliru jika orang mengira aku menulis untuk menyindir pihak tertentu, karena sejatinya aku menulis untuk mengingatkn diriku sendiri mana yang baik dan mana yang tidak.

Tapi, kebiasaan itu sudah lama kutinggalkan. Mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan karena hal sepele aku melupakan kebiasaan itu. Kehilangan data  tentang semua karya tulis baik fiksi maupun non fiksi sekaligus rusaknya notebook beberapa waktu lalu membuatku seolah patah sayap. Jika sebagian orang berfikir kenapa tidak memulai lagi.

Kalian tidak akan mengerti gejolak perasaan saat meneruskan cerita yang sudah ada dan menuliskan yang baru. Ada satu karya fiksiku yang belum kurampungkan, karya yang benar-benar membuatku mencurahkan pikiran dan waktuku untuk mengolah diksi apa yang pantas kumasukkan ke dalamnya. Sudah kucoba untuk menulis kembali cerita yang sama, tapi selalu ada yang kurang di dalamnya. Ada kata-kata yang tidak mengena, berbeda dengan tulisan awalku. Tulisan kedua tidak akan sama dengan tulisan pertama. Tulisan ini kosong, kehilangan jiwanya.

Aku juga mencoba untuk mencari siapa tahu aku menyimpan tulisan itu di tempat lain, tapi tidak, aku tidak pernah memindahkannya. Hambar, aku seolah kehilangan jiwa.

Seseorang pernah membaca cerita fiksiku itu dan menilai jika kata-kata yang kugunakan terlalu sarkasme serta menanyakan apa tujuanku menulis,

Kuakui aku ingin menjadi penulis, tapi dia membantah jika tulisanku terlalu sarkas, publik tidak akan menerimanya. Jika ingin menjual karya, aku harus menyesuaikan dengan minat pembaca. Tapi, aku tidak peduli. Aku menulis untuk kesenanganku, di samping aku ingin orang mengenalku dengan ciri khasku dalam menulis.

Jika aku meniru, mengubah gayaku, itu menjadi bukan aku. Bukankah penulis mudah dikenali karyanya karena gaya penulisannya? Aku menuliskan berdasarkan fakta, lagipula itu cerita fiksi, tak melulu membahas logika, pun tidak melulu terercaya dalam perasaan haru biru. Aku benci roman picisan yang mendayu.

Aku yang terbiasa membuat ending menyedihkan dengan mengakhiri hidup tokoh utama, diprotesnya habis-habisan, Hey! Ini tulisanku, ini ceritaku, dan ini gayaku.

Baiklah, kembali lagi ke awal cerita. Aku iri juga iri pada gadis itu, dia mengingatkan dengan sosokku yang dulu, dan sekarang aku meringkuk mengesampingkan kesenangan itu untuk kemudian terjebak pada hal yang sia-sia.

Aku mendambakan kebebasanku, sepak terjangku yang terkadang terlalu spontan, kata-kataku yang lugas.

Aku... Ingin kembali.

Hei, Orie tokoh utama dalam cerita fiksiku, bangkitkan untuk untuk kembali mengembangkan kisahmu. Aku terlalu lama tertidur dan meringkuk di sudut terjauh jiwaku.

Monday, 18 June 2018

Jangan Biarkan Isi Hatimu Berserakan di Semua Tempat


Hati manusia adalah gudang semua rasa. Senang, sedih, kecewa, marah, terharu, rindu, dan masih banyak lagi rasa yang akan muncul di sana selama seseorang itu masih bernyawa. Sudah tak bernyawapun masih memiliki rasa, takut atau bahagia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di dunia.
Tak jarang kita dapati berbagai ungkapan isi hati muncul di beranda media sosial. Dari hal sepele sampai yang rumit.
Saat jatuh cinta. Siapapun pasti pernah diserang oleh virus merah jambu ini. Berbagai ungkapan dan kalimat penyair berusaha menggambarkan 'wajah' dari sang cinta.
Maka akan kita dapati status-status ungkapan cinta, rindu, sayang, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang sang gebetan atau si doi langsung di tag biar orang tau siapa yang dia maksud, atau ingin pengakuan atas kepemilikan, entah itu sudah sah atau belum. Lalu muncullah komentar ucapan selamat, do'a, pemalakan, dll.
Saat marah, maka sumpah serapah dan caci maki juga akan muncul di beranda. Kurang puas main sindir, tag langsung orangnya. Rusuhlah komentar dari status itu, bukan hanya dari mereka yang berseteru, tapi terkadang kita dan orang-orang luar yang tidak terlibat ikut rusuh. Nimbrung tanpa tau perkara aslinya bagaimana. Menghujat atas yang benar dan salah. Kalah heboh dari sang hakim yang memutuskan suatu perkara.
Saat sedih atau kecewa. Kalimat mendayu dan penuh keluh-kesah. Kita merasa kitalah korban atas ketidak adilan atau musibah yang terjadi. Kurang afdol hanya dengan kata-kata, upload foto dengan mata yang berlinang air mata, dan hidung merah. Maka muncullah ucapan belasungkawa yang entah sekedar basa-basi atau memang tulus adanya.
Termasuk hal remeh temeh lainnya. Habis mandi, "cekrik" foto dengan berbagai macam gaya tapi wajah tetap sama. Melamun, bosan, "Cekrik" upload foto lebih dari 3 dengan caption yang dibuat semenarik mungkin. Bahkan saat belajar, dan hal-hal tidak penting lainnya. Bisa upload entah itu status atau foto dengan rentang waktu yang singkat dalam sehari.
Pun begitu saat patah hati, berhasil meraih sesuatu, dan semua rasa yang kita rasakan tak luput kita share di media sosial.
Boleh jadi, sekedar dijadikan moment untuk mengenang masa. Boleh jadi merasa semua orang wajib tahu apa yang kita rasakan, pun boleh jadi kurang kerjaan.
Apapun alasannya, memang itu hak kita. Medsos punya kita, bodo amat orang mau bilang apa. Benar, statement ini tidak salah. Tapi jika kita mau sedikit saja berfikir, hanya sedikit, kalau banyak nanti otak kalian tidak sanggup. Apakah semua orang yang nimbrung di status kita mengatakan yang sebenarnya? Apakah mereka yang berkomentar dengan keluh kesah kita benar-benar sepeduli itu, atau hanya basa-basi? Mungkin kita merasa senang dengan jumlah 'like' dan 'coment' yang berjibun, merasa semua orang memperhatikan kita. Tapi... Adakah dari mereka yang mengucapkan kalimat basa-basi, benar-benar hadir di sisi kita untuk menghibur, merangkul di saat sedih, ikut tertawa di saat kita bahagia? Apakah mereka yang membela kita saat kita bertengkar di dunia maya benar-benar mendukung kita? Tidak, jikapun ada biasanya itu teman kita yang sebenarnya. Dan, orang yang benar-benar peduli tidak akan menanyakan hal basa-basi, melainkan langsung datang, menghubungi, bertanya cemas, ikut sedih, bahkan ikut bahagia bersama kita. Bukan hanya melontarkan komentar basa-basi.
Apakah setelah kita mengeluarkan isi hati di medsos semua permasalahan selesai? Tidak. Masalah justru akan merembet kemana-mana. Sebagai contoh, kita punya masalah dengan seseorang, bertengkar. Rusuh di medsos komentar-komentar pro dan kontra. Yang harusnya masalah hanya melibatkan 2 orang, akhirnya teman, kerabat, bahkan orang yang tidak kita kenal ikut berdebat. Bukannya menyelesaikan masalah, malah memperkeruh, memanasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang lebih emosi dari kita. Alhasil jadilah ladang penebar kebencian medsos kita.
Masalah lain, saat jatuh cinta kita rusuh membuat status, baru jadian heboh upload foto mesra, bahkan kalah mesra dengan kakek nenek kita yang sudah bersama puluhan tahun. Mengobral kata cinta ke mana-mana, melempar kata sayang dan rindu sedemikian rupa. Tiap menit bahkan detik. Takut sekali dia tidak tahu kalau kita menyukainya, sedangkan hakikatnya cinta itu bukan melalui kata-kata. Justru ketika semakin sering diucapkan akan terasa hambar, tak bermakna. Jangan-jangan malah mengaburkan makna sejatinya. Meyakinkan hati bahwa itu cinta, sedangkan kita sendiri bingung apa itu cinta. Ngotot sekali bahwa itu cinta.
Lalu, saat patah hati, putus. Rusuhlah kita menghapus semua kenangan, sambil berlinangan air mata. Aduh.... Ribet sekali perkara hati ini.
Ini sebagian ada dalam status yang dibuat oleh bang Tere, penulis favorite saya. Tapi saya setuju dengan argumentnya.
Sekali lagi, jika kita mau berfikir. Tidak semua orang yang tidak ikut nimbrung di status kita itu memang tidak peduli. Justru mereka bersikap tidak peduli karena terlalu merasa terganggu dengan status-status yang kita buat. Bisa jadi malah gebetan atau doi yang kita incar merasa ilfil dengan ulah kita.
Jika orang yang sedikit waras, akan berfikir ulang saat melihat gebetannya mengeluarkan makian dan sumpah serapah yang menakjubkan. Tidak menutup kemungkinan kalimat itu akan dia lontarkan pada kita. Belum lagi jika kita sibuk mengeluh tentang hidup kita, kita bisa saja di cap tukang pengeluh. Aduh... Jangan terlalu merasa bahwa sosmed itu sepenuhnya hak kalian. Ada orang yang melihat, teman, guru, dosen, keluarga, orang-orang tidak kenal yang berteman di dunia maya. Bagaimana mungkin mau kita tunjukkan semua kekurangan kita, kelebihan kita.
Bahkan beberapa penelitian membuktikan, orang-orang yang benar-benar bahagia atas hidupnya justru tidak banyak membagikannya di media sosial. Menjadikan moment itu tetap berharga untuknya dan orang-orang yang bersamanya. Jikapun diabadikan, akan tersimpan rapi dalam album kenangannya. Sehingga bisa dia nikmati kapan saja jika dia mau. Termasuk hal-hal membanggakan lainnya, tak perlu semua diumbar, biarkan orang lain yang melihat sendiri, tidak perlu diperlihatkan secara berlebihan. Mereka yang bijak, yang benar-benar luas wawasannya, tak pernah rusuh jepret sana sini untuk menunjukkan prestasinya, tapi dunia dengan sendirinya menjepret dan mengabadikan prestasinya. Mereka yang benar-benar dermawan ahli ibadah, tidak akan rusuh jepret sana sini, update status sana sini untuk menunjukkan betapa dermawan dan ahlinya dia beribadah, dia rahasiakan, sadar jika penonton dan pembalas terbaik adalah penciptanya. Apalagi sampai selfie kalau lagi ngaji atau sholat. Kalaupun ada yang terjepret kamera, itu bukan keinginan mereka, melainkan oeang lain yang ingin mengetuk hati sesama untuk berbuat baik juga.
Untuk kita yang punya masalah, entah skala kecil atau besar. Bagi mereka yang mengerti arti privasi dalam hidup, akan menyimpannya rapat-rapat. Termasuk masalah orang lain yang sengaja atau tidak dia ketahui. Jika kita saja tidak bisa menyimpan aib kita sendiri, tidak bisa menjaga rahasia kita sendiri, bagaimana bisa kita menyimpan rahasia dan aib orang lain? Maka orang yag melihat akan berfikir ulang untuk dekat dengan kita.
Jika memang sudah tidak sanggup memendam semua perasaan sendiri, kita boleh mengungkapkan. Tidak ada yang melarang, lagipula siapa pula yang bisa melarang jika yang merasakannya kita sendiri. Hanya saja, cari tempat menyalurkan yang baik. Tidak semua orang yang bertanya "Ada apa" benar-benar peduli, terkadang ini hanya kalimat basa-basi atau kalimat dari mereka yang sekedar kepo dengan hidup kita, untuk akhirnya hanya melontarkan kata-kata basa-basi setelah mendengarkan cerita versi lengkap dari kita.
Hubungi teman, teman yang jelas-jelas kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Orang-orang yang bisa menjelek-jelekkan orang lain di depan kita, tidak menutup kemungkinan bisa melakukan hal yang sama kepada kita di belakang kita.
Tidak memiliki teman yang dipercaya? Tuangkan semua isi hatimu di kertas, penuhi kertas itu dengan isi hatimu. Takut ada yang membaca, bisa langsung kalian bakar. Malas menulis? Maka tidak ada tempat curhat yang paling baik selain di atas sajadah. Menangislah sesuka hatimu, mengadulah semua masalahmu. Maka kita akan merasakan ketenangan. 'Dia', tidak pernah meninggalkan kita. 'Dia' tidak pernah iseng  bercerita ke makhluk lain tentang keluh kesah kita, bahkan dengan kuasa-Nya akan membantu kita. Bantuan yang lebih dahsyat dan di luar kuasa semua makhluk-Nya.
Cobalah, kita harus mencoba untuk menjadi pribadi yang terbiasa menyelesaikan semua masalah sendiri. Jadilah orang yang mandiri. Jangan terlalu bergantung pada orang lain, karena tak selamanya mereka akan berada di sisi kita. Mereka akan pergi, entah pergi karena menemukan yang lain, bosan, atau karena kematian. Maka tempat bergantung sebaik-baiknya adalah kepada 'Dia'. 'Dia' tidak pernah meninggalkan kita, namun kitalah yang senantiasa menjauh, lupa bahkan sengaja melupakan 'Dia'.
Tapi bukan berarti saya melarang kalian untuk menshare atau menulis apapun di medsos. Boleh, sungguh boleh. Hanya saja, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih mana yang baik dan tidak. Apakah bermanfaat atau tidak. And last... Saya suka menjadi tempat orang bercerita. Menyenangkan saat mendengarkan seseorang bercerita, memberikan masukan. Insya Allah terjaga rahasia.

Friday, 23 March 2018

"Aku Tahu", Sebuah Kalimat yang Menutup Masuknya Ilmu

"Aku tahu", sebuah kata yang sering kita dengar atau mungkin sering kita ucapkan saat mendengar seseorang mengatakan sesuatu yang kita sudah tahu. Ini biasa kita lakukan untuk sekedar memutuskan rasa bosan atau untuk menghentikan percakapan yang kita sendiri sudah tahu ke mana arahnya. Mungkin kita berfikir "Untuk apa buang-buang waktu jika kita sudah tahu yang hendak dikatakan orang tersebut?". Atau, mungkin saja ada saat kita merasa tidak terima atas informasi atau ilmu yang kita peroleh dari seseorang yang pendidikannya lebih rendah dari kita, semacam perasaan gengsi, merasa direndahkan. Maka dengan rasa tinggi hati, kita memutuskan untuk mengatakan, "Aku tahu".
Hei, tidakkah terpikir oleh kita jika orang-orang yang pintar bahkan lebih jenius dari kita adalah orang-orang yang mau membuang-buang waktu untuk mendengarkan informasi yang sekalipun dia sudah tahu, tetap disimaknya dengan saksama. Fokus betul menyerap kata demi kata yang diterima, bahkan tidak jarang membawa catatan untuk mencatat informasi yang dia dapatkan. Tidak, saya tidak sedang mengarang karena saya sendiri tahu informsi tentang kegiatan ini dari mantan atasan saya. Dia termasuk orang yang sukses menurut saya. Beliau mengatakan hal ini di suatu waktu saat memberikan pengarahan.
Beliau memberikan contoh Bapak B.J. Habibie yang melakukan kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas, terlepas dari apakah beliau benar-benar bertemu dan melihat langsung yang dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie. Yang pasti, beliau mengatakan "Orang sejenius B.J. Habibie saja mau membuang waktu untuk menyimak informasi yang diberikan orang lain untuk kemudian dia catat seolah-olah dia benar-benar haus akan ilmu dan dia tidak tahu apapun. Padahal, boleh jadi lawan bicaranya hanya membual atau boleh jadi dia sudah tahu informasi itu, bahkan bisa saja semua orang juga sudah tahu karena informasi yang didapatkan adalah informasi yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Tapi, dia tetap mencatat, menyimak. Tanpa memandang apakah lawan bicara pendidikannya lebih rendah atau lebih tinggi dari dia. Padahal bisa saja dia menyela, memotong obrolan dengan mengatakan 'aku tahu' untuk memangkas waktu yang terbuang sia-sia.
Itu baru satu contoh yang saya dapatkan dari mantan atasan saya, mungkin masih banyak orang-orang jenius lain yang melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie.
Lalu bagaimana kalau berita itu bohong? Itu point pentingnya. Orang yang cerdas akan menelaah kembali informasi yang dia dengar untuk kemudian dia cari kebenarannya. Tidak lantas menelan bulat-bulat informasi itu bahkan mengamini bahwa informasi tersebut adalah benar untuk kemudian dia sebarluaskan kepasa masyarakat luas. Orang-orang cerdas akan meneliti kembali, mencari kebenaran. Setelah dia tahu bahwa informasi itu benar, maka boleh jadi akan dia sebarluaskan kepada orang lain, jika informasi itu menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersifat publik. Jika bersifat pribadi, bisa dia terapkan untuk dirinya sendiri guna membantu riset, penelitian, uji coba yang sedang dia kerjakan.
Lalu timbul lagi pertanyaan, "Apa hubungannya dengan kata 'Aku tahu'?". 
Kita ambil lagi sebuah contoh, Bapak B.J. Habibie tadi misalnya. Jika Bapak B.J. Habibie mengatakan "Aku tahu" atau kita sendiri yang mengatakannya. Otomatis saat itu juga lawan bicara berhenti memberikan informasi. Kita merasa sudah tahu informasi itu cukup dengan mendengar kalimat pembukanya saja dan mengambil kesimpulan kalimat penutup pasti akan sama, lantas dengan mudahnya kita mengatakan "Aku tahu". Sadar atau tidak saat kita melontarkan kalimat itu, saat itu kita memutus akses masuknya ilmu pengetahuan yang baru.
Siapa tahu kalimat akhir seseorang akan berbeda dengan orang lain meskipun kalimat awalnya sama. Karena kita mengatakan "Aku tahu", saat itu juga kita gagal mendapatkan informasi baru. Jika memang, informasi yang kita terima sama persis dari awal sampai akhir. Tidak mengapa, anggap saja kita mengingat kembali. Biasakan untuk mendengarkan informasi sampai habis. Selesai, jika masih bingung, kita bisa bertanya meminta penjelasan untuk kemudian memperoleh informasi lain lagi. Jika memang sudah paham betul dan sudah tahu. Anggap saja melatih bersikap sopan dengan lawan bicara. Bukankah tidak sopan memotong ucapan seseorang dengan kata-kata "Aku tahu". Melenyapkan mood lawan bicara, bahkan.bisa jadi lawan bicara akan tersinggung.
Tidak mengapa, meskipun lawan bicara pendidikannya lebih rendah dari kita. Siapa tahu, dia mendapatkan informasi dari pejabat tinggi, orang terpercaya, atau bisa jadi lawan bicara kita adalah agen FBI yang sedang menyamar. Siapa tahu?
Banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di sekitar kita. Biasakan untuk tidak menganggap remeh informasi yang kita terima, toh tidak ada ruginya. Lagi, perlu diselidiki kebenarannya, jangan asal terima. Bisa gawat kalau kita akhirnya dituntut karena dituduh memberikan informasi bohong atau hoax. So, jadilah penyimak yang cerdas.

Monday, 12 February 2018

Budaya Mengumpat


 
Mengumpat, mencaci, memaki. Yah... Sejenis. Intinya mengeluarkan kata-kata kasar untuk mewakili emosi. Jengkel, kesal, marah, ataupun benci. Maka keluarlah semua jenis makhluk halus, penghuni kebun binatang, sampai maaf kadang melibatkan anggota tubuh di mana merupakan bagian paling memalukan untuk disebutkan.
Terkadang saya pribadi kasian pada makhluk halus yang disebut, yah... contohnya iblis, mereka memang jahat, tapi apakah kita pernah memikirkan perasaan si iblis saat kita mencaplok nama iblis tanpa izin.
Contoh:
"Dasar iblis! Enyah kau dari tempat ini. Bang**t!!!!"
See? Yang kita marahi adalah seorang manusia, yah... Mungkin menyerupai iblis. Tapi kan bukan iblis beneran. Dan... Kata terakhirpun kerap kita dengar. Ada juga sejenis, "baji**an, p**ek, dll."
Baiklah... Jika dilontarkan dalam intensitas emosi yang tinggi karena marah, mungkin bisa ditoleransi. Mungkin...
Kita turunkan sedikit intensitasnya, dalam percakapan sehari-hari, obrolan ringan. Saya ambil dari contoh percakapan yang pernah saya dengar.
Ada segerombolan anak muda berbincang ringan, semua gender gabung di sini. Tidak juga transgender ya, tapi saya juga tidak memastikan kehadirannya. Kira-kira begini obrolannya:
A : eh, gue jadian sama bunga* (*nama samaran)
B : weh... Pake pelet apa lu, nyet? (Apalah salah si monyet)
A : Tai! Dia murni suka ama gue, anj**g!
C : sialan! Breng**k lo. Ni kutu kupret akhirnya lepas masa jomblo.
Dst...
Saya ambil bagian pentingnya saja. Itu obrolan ringan, tapi tetap saja ada kata makian, sampai saya bingung. Mereka sedang ngobrol atau lagi ngabsen isi kebun binatang. Nanggung absen aja semua tuh penghuni kebun binatang biar ramai, bahkan kotoranpun ikut andil dalam percakapan itu. Ckckck...
Tidak hanya dalam percakapan langsung, di grup chat, medsos. Kata-kata makian ini kerap terlihat, terhaca. Seliweran di beranda, di obrolan grup. Yang notabanenya terkadang grup chat di dumay adalah gabungan dari semua umur, termasuk bocah SD juga ada, dan mirisnya mereka juga ikut menggunakan kata makian seolah tanpa beban.
Saya pribadu agak risih mendegar atau membaca kata-kata seperti itu, karena saya sendiri berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu.
Kadang bukan lagi jadi hal aneh di mana orang tua dan anak saat berdebat saling melontarkan kata makian dan cacian. Semoga keluarga kita tidak.
Jika dilakukan oleh orang dewasa mungkin kita agak maklum, lagi-lagi mungkin.
Lantas, bagaimana jika diucapkan oleh bocah-bocah yang masih kecil. Anak SD kelas 3, bahkan sudah terdengar santai mengucapkan kata-kata makian saat bermain dengan teman-teman sebayanya. Jika kebetulan ada orang tua saya, dijamin mereka akan dapat teguran keras dari ayah ataupun ibuku.
Terkadang jika kita tanya, mereka sendiri tidak mengerti apa arti dari kata makian itu, hanya terbiasa mendengar, lantas meniru dan menjadi terbiasa. Fenomena yang menyedihkan. Saya sendiri untuk mengatakan kata "bodoh" lebih memilih kata "pintar" tentu dengan penekanan dan ekspresi wajah yang berbeda untuk mengatakannya agar mereka mengerti. Diucapkan dengan senyum sedemikian manis agar mereka tidak terlalu sakit hati.
Entah, kapan fenomena mengumpat atau memaki ini akan berhenti. Pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk kebiasaan yang tidak baik ini. Keluarga? Pergaulan? Semua ikut andil.
Jadi, ada baiknya kita mulai dari diri kita sendiri, untuk kemudian mengajarkan kepada adik-adik atau orang di sekitar kita untuk bahwa mengumpat itu tidak baik. Menegur dengan halus jika memang terdengar.
Jangan sampai mereka, terutama generasi penerus kita menyangka jika kata-kata itu adalah sesuatu yang wajar untuk diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Karena menurutku, tak ada untungnya dari mengumpat/memaki. Telinga risih mendengarnya, mata sakit membacanya, malaikat pencatat amal keburukan geleng-geleng kepala sambil mencatat di bukunya. Right? Semoga kita bisa mengurangi kebiasaan ini.