Monday, 31 March 2025

Percakapan Iblis dan Bidadari - End

 

Dan saat ini, iblis mulai menyadari perubahan Sang Bidadari. Dia memilih mendekati sosoknya yang tengah bermain dengan ilalang.

“Kau berubah.”

Bidadari tak menggubris, tetap asyik dengan kegiatannya.

“Kau mengabaikanku sekarang?”

“Sejak dulu aku mengabaikanmu.” Jawab Sang Bidadari dingin.

Iblis menggeram tak suka, “Aku berbuat salah padamu?”

“Kau bersalah pada manusia, aku tidak ada hubungannya denganmu.”

Iblis benar-benar marah, ada yang tidak beres. Dia menarik lengan Sang Bidadari hingga membuat mata itu kini menatapnya nyalang.

“Singkirkan tanganmu dariku!” desisnya sembari menepis tangan iblis.

Meski sebentar, iblis tahu sorot mata itu berubah. Bukan tatapan yang pertama dia lihat juga bukan tatapan redup seperti terakhir kali mereka berpapasan.

“Apa ini? Kenapa aku tak bisa mengenali sosokmu kali ini?” Iblis mulai gusar.

“Tak ada yang bisa mengenalku seutuhnya kecuali penciptaku.”

“Persetan! Katakan kenapa kau begini?”

“Untuk apa?”

“Hah! Bidadari kita kembali menjadi sombong.” Iblis mengejek.

“Tidak, aku hanya kembali pada penciptaku.”

“Kau… omong kosong macam apa lagi ini? Kau akan meninggalkan dunia ini? Bukankah kau menyukai manusia?”

 Kau yang selalu berusaha untuk tidak mengatakan apapun, menghakimi siapapun, mulai bisa berfikir jernih. Kau memilih berlepas diri darinya. Terlebih setelah kau tahu dia sudah dekat dengan Wanita lain. Kau tahu, tugasmu untuk menjaganya, mendo’akan kebahagiaannya telah selesai. Itu bukan lagi tugasmu, sudah ada orang lain yang bisa melakukannya untuk manusia spesialmu.” Iblis tersenyum saat melihat sang bidadari tersenyum. Dia tahu sang Bidadari tengah menertawakan kebodohannya.

"Saat kau mulai damai. Dia kembali berulah dengan mengatakan bahwa dia bisa tanpa bantuanmu. Dia ingin membuatmu malu karena berfikir bahwa dia tak mampu melakukan apapun tanpamu. Entah dia mendengarkan bisikan darimana hingga bisa berfikir bahwa kau menganggap dia tak mampu melakukan apapun tanpa bantuanmu. Padahal seharusnya dia sadar, saat kalian dekat, kau yang selalu mengatakan bahwa dia bisa, hanya terlalu cepat menyerah. Kau yang akan lebih dulu tersenyum senang saat dia bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanmu. Maka konyol sekali jika sampai terlintas pemikiran kau ingin dia hanya bergantung padamu. Hahhhhh…. Manusia yang kau cintai itu terkadang lucu sekali bidadariku. Mereka bisa memelintir kata-kata menjadi sangat manis dan bisa sangat beracun. Bodohnya dia, mempercayai semuanya. Kau yang diam-diam membantunya, tak pernah berfikiran bahwa dia tak bisa tanpamu, kau hanya khawatir dia kesulitan dan kebingungan sehingga kau meminta bantuan orang lain untuk mendekat padanya lebih dulu, karena kau khawatir dia kebingungan untuk mencari tempat bertanya. Tapi… niatmu justru disalah artikan. Entah disalah artikan atau ada bisikan lain yang dipelintir sedemikian rupa untuk membuatnya makin membencimu.

Tapi bidadariku… manusia itu. Jika sudah membenci, maka kebencian itu akan melekat kuat. Mau kau jungkir balik untuk membuat mereka mempercayaimu, mereka akan tetap menyangkalnya. Beruntung kau memilih diam, meski sebenarnya kau mulai marah karena terus-menerus dihina. Kau bersikap seolah tak tahu apapun. Melanjutkan aktivitasmu seperti biasa.

Dan nyatanya tanpa kau harus meluruskan semua kesalahpahaman, akan selalu ada orang yang mempercayaimu. Tidak sedikit, banyak. Kau beruntung. Tuhan benar-benar melimpahkan cinta-Nya padamu.”

“Bidadariku… boleh aku bertanya satu hal padamu? Aku penasaran sejak kau berubah menjadi tak peduli lagi padanya, manusia spesialmu. Kau benar-benar menutup semua akses untuk masuknya informasi tentangnya. Meskipun akhirnya ada saja yang menyampaikannya kepadamu tanpa kau minta. Kabar baiknya, kau hanya tersenyum menanggapinya. Jika itu hal buruk tentangnya, kau akan meluruskannya jika memang itu salah. Jika itu tentang dia yang masih mengungkit kebencian tentangmu, kau hanya tersenyum tapi tak berniat mencari tahu lebih banyak. Apakah kau benar-benar sudah melupakannya? Meski terkadang ada saatnya kau bersedih, tapi tidak sebanyak dulu.”

Sang bidadari menghembuskan nafas perlahan, “Aku telah berlepas diri darinya. Aku tak punya urusan apapun lagi dengannya. Aku sudah melakukan semua yang kubisa untuk meraihnya, tapi dia mendorongku menjauh. Baik dengan sikap dan kata-kata kasarnya. Dari sana aku sadar, tak ada lagi yang perlu kulakukan.

Maka setiap malam aku mengatakan kepada Penciptaku, “Tuhanku, aku berlepas diri darinya. Kumaafkan dia, aku mengikhlaskannya, merelakannya. Untuk semua rasa sakit yang kuterima selama kami dekat, kuanggap sebagai penebus rasa sakitnya yang dia anggap sudah kukhianati. Tapi rasa sakit yang kuterima setelah asing kami hingga aku menutup akses untuk dia masuk kembali, kuikhlaskan. Jika memang… dia masih melakukan hal-hal buruk yang ditujukan kepadaku dan orang-orang terdekatku tanpa sepengetahuanku. Kubiarkan Tuhanku bersama semestanya yang bertindak. Aku tak ingin membalas apapun. Aku masih ingin menganggapnya orang baik yang pernah kukenal.

Rasa sakit itu berganti dengan kecewa. Maka aku tak bisa lagi kembali. Sudah saatnya aku melepaskan cintaku dan menghargai diriku sendiri. Untuk apa aku bertahan di sisi orang yang bahkan selalu mendorongku untuk pergi. Aku harus bisa menghargai diriku sendiri, terutama aku tak ingin melukai orang lain yang tak bersalah yang ikut terluka karena kebodohanku selama ini.”

Iblis mengangguk. Untuk kemudian tersenyum lebar.

“Bagus bidadariku. Maka aku bisa melihat lebih banyak lagi senyummu.”

Sang bidadari menatap iblis sinis, “Jangan coba-coba mengacaukan manusia di sekelilingku.”

Iblis terbahak, “Lihat. Bidadari kita ini sungguh terlalu. Dia bisa mengorbankan diri sendiri untuk manusia lain tapi tak ada toleransi untuk kami.”

“Aku tak berniat memaklumi kalian.” Jawab bidadari sembari berlalu dan kembali ke tempat persembunyiannya.

Iblis tersenyum, “Naif sekali bidadariku satu itu. Dia tak memaklumi tapi tak sadar memberi ruang pada kami untuk menyelinap memanipulasi orang-orang di sekitarnya. Yahhh… setidaknya itu tugas kami.

Andai kau tahu bidadariku, manusia spesialmu bahkan bersekutu dengan bangsa kami untuk mencelakaimu. Dia bahkan jauh lebih buruk dari bangsa kami sendiri. Beruntunglah kau dijauhkan dari makhluk seperti itu yang akan selalu menyerap habis energi positifmu.”

Wednesday, 5 February 2025

Percakapan Iblis dan Bidadari

Belakangan ini, iblis mulai kebingungan dengan perubahan sang bidadari yang dikenalnya selama ini. Sang Bidadari yang kerap tersenyum ramah padanya, sekalipun kehadirannya membawa petaka, tak mampu membuat sang bidadari marah atau bersedih.

Tapi kini, sang Bidadari mulai mengabaikannya, seolah kembali ke sosoknya yang pertama kali iblis temukan. Sosok yang begitu dingin dan tak peduli pada sekitarnya. Sosok yang dia bentuk dari kejatuhannya pertamanya setelah habis-habisan ditipu oleh seorang manusia yang membuatnya buta akan cinta. Sejak saat itu, sang bidadari menjadi sosok yang tak tersentuh, tersenyum seadanya, berbicara seadanya.

Dia kembali hidup dan lebih berwarna beberapa bulan lalu, tapi sayangnya kembali sang iblis melihat pemandangan tragis dari sosok sang bidadari.

Kejatuhannya yang kedua. Hanya karena kenaifannya, yang begitu mencintai seorang manusia, manusia yang begitu spesial baginya. Begitu dijaga, dia pastikan selalu ada untuknya, mengabulkan semua inginnya, mengalah pada inginnya, melindunginya, melangitkan namanya untuk kebahagiaannya. Tapi apa yang dia terima?

Cacian, makian, kebencian, fitnah dan hal buruk lainnya. Hebatnya lagi, setelah mendapatkan semua perlakuan itu, sang Bidadari justru menyalahkan dirinya sendiri. Membela manusia spesialnya, membuat terluka manusia lain yang benar-benar peduli padanya.

Mata itu kehilangan sinarnya, perlahan redup bersama jiwanya.

 

“Haruskah ku hancurkan dunia agar tidak ada lagi makhluk yang bernama manusia?”

Setidaknya inilah percakapan pertama yang terjadi setelah iblis jengah melihat bidadari yang terlihat begitu menyedihkan.

Dengan cepat sang bidadari menggeleng, “Kau tidak berhak melakukannya.”

Sang Iblis terkekeh, “Kau tahu bidadariku yang naif. Kami cukup membisikkan kata-kata manis, mereka manusia serakah akan bergerak dengan sendirinya bahkan terkadang tanpa kami minta. Mereka berimprovisasi, mengacaukan tatanan dunia, merusaknya.”

“Tidak semuanya. Masih ada yang merawat dan memperbaikinya.”

“Hah! Kau bela saja terus mereka, tapi lihat? Nasibmu berakhir menyedihkan di tangan makhluk yang begitu kau cintai bernama manusia.”

“Itu bukan salahnya.”

Sang Iblis Kembali terbahak. “Wah… Sang bidadari kita ini benar-benar berwelas asih, seperti yang dirumorkan. Tapi tidakkah kau lihat apa yang dilakukan manusia yang kau cintai di belakangmu? Bahkan setelah ketiadaanmu di sisinya, dia terus-menerus mengumpatmu, membencimu, memfitnahmu. Kau tidak marah?”

Sang Bidadari menggeleng membuat Sang Iblis mendecak kesal.

“Kau tahu kan apa yang dia lakukan? Kau lihat sendiri buktinya yang diberikan manusia lain padamu?”

Tak ada jawaban, Iblis kembali melanjutkan.

“Pertama, dia menyalahkanmu karena tidak memilihnya. Berkoar ke sana kemari tentang betapa terlukanya dia, bodohnya kau malah mengamini dan menganggap bahwa itu memang salahmu.

Kedua, dia mulai mengarang indah dengan mengatakan kau hewan berwujud manusia, nyatanya kau bidadari yang menyelinap ke dunia manusia.

Ketiga, dia kembali membuat dongeng dengan mengatakan kau tukang selingkuh. Kau tahu? Ini terdengar konyol sekali. Aku yang murni seorang iblispun tertawa melihatnya. Bagaimana mungkin dia menuduhmu selingkuh dan berkhianat? Sedangkan selama ini tak pernah ada kejelasan apapun tentang hubungan kalian. Bahkan dengan mulutnya sendiri, dia mengakuimu sebagai teman, rekan kerja kepada orang-orang yang bertanya.

Kau menahan diri untuk tidak terluka, memaklumi sikapnya. Kau menekan semua rasa cemburu, kesepian, tak dianggap. Meski kau tahu kau tak pernah spesial baginya, kau tetap berdiri di sisinya, menemaninya, menjaganya, melakukan apapun yang kau bisa. Tak peduli meski harus berdebat dengan orang-orang yang tak suka, tak peduli harus mengalah pada keegoisannya, tak peduli meski harus terluka dengan semua perlakuannya. Kau tetap berdiri di sisinya seperti orang bodoh.

Kau yang sejak awal tak pernah berniat untuk memberikan cinta setelah pernah terluka begitu hebat, lengah dengan membiarkan pertahananmu menurun, waspadamu menghilang, kau terjebak dalam perasaan tak perlu. Hingga akhirnya kau memilih untuk tetap menemaninya hingga dia menemukan sosok yang dia cari selama ini. Wahhh… lapang dada sekali bidadari kita ini. Khawatir benar manusia spesialnya terluka sampai rela mengorbankan dirinya sendiri.

Lucunya juga, dia sebenarnya tahu perasaanmu tapi tak berniat untuk bertindak. Menikmati semua perhatianmu tapi tak paham tentang menderitanya kau dengan pemikiran bahwa semua perasaan itu hanya kau rasakan sendiri.

Hingga kau memantapkan hati, kau mundur memilih orang lain yang lebih bisa menghargai arti kehadiranmu. Manusia spesialmu marah, tak terima. Membuatmu nyaris melanggar janjimu pada manusia lainnya yang juga hendak melepasmu karena melihat betapa matamu selalu berbinar bersama manusia spesialmu.

Beruntung, manusia lainnya mencegahmu. Dan lebih beruntung lagi, manusia spesialmu justru menjauh darimu, tak mengizinkanmu untuk mendekat. Andai dia bersikap seperti biasa, kau pasti goyah. Diabaikan dan diasingkan saja kau masih bodoh terus mencarinya, terus memikirkannya, terus menyalahkan dirimu sendiri karena dia terluka. Padahal andai kau mau berfikir sedikit saja, seperti yang manusia khususmu bilang, kau tidak bersalah.

Itu murni salah manusia spesialmu. Kenapa dia menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan dalih menunggu moment yang tepat. Mana dia peduli dengan lukamu karena mengira hanya kau yang memiliki perasaan itu.”

Iblis menjeda sejenak kalimatnya, memperhatikan raut wajah sang Bidadari. Tapi sosok itu bungkam.

“Kesalahannya yang tidak dengan cepat mempertegas hubungan kalian, dia lemparkan kepadamu dengan mengatakan kau berkhianat?” Iblis Kembali terbahak.

“Aku tidak pernah tahu jika seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki lebih memikirkan moment daripada berfikir rasional untuk segera bertindak sebelum kau direbut orang lain. Dia terlalu yakin bahwa kau akan selalu ada untuknya. Dia lupa jika kau pernah terluka dan kau bisa dengan kejam menikam hatimu sendiri untuk segera mengakhiri penantian yang melelahkan, mimpi-mimpi dan harapan. Kau telah belajar banyak dari penantian yang sia-sia.

Dia terlalu terlena dengan pemikiran itu. Padahal dia jelas tahu beberapa lelaki berusaha mendekatimu, tapi dia merasa aman karena kau tak pernah menggubrisnya. Sedangkan dia? Dengan santainya dekat dengan banyak wanita. Membuatmu makin merasa kerdil dan berfikir kau tak pernah punya kesempatan. Tapi lihat? Saat dia tahu kau memilih orang lain dan menyerah pada penantianmu, dia marah. Tak pernah melihat bagaimana tingkahnya selama ini dekat dengan perempuan manapun, menikmati kecemburuanmu. Tanpa tahu malu mengatakan dia tahu kau cemburu, tahu kau menyukainya, tapi tak berniat melakukan apapun, bertahan dengan dalih menuggu moment.

Lihat? Akibat kesalahannya yang terlalu terlena, kau pergi. Dia marah, memakimu, menyebarkan fitnah bahwa kau berselingkuh. Konyol sekali! Selingkuh itu hanya berlaku bagi mereka yang memiliki hubungan pacaran atau menikah. Sedangkan kalian? Tak punya hubungan apapun dengan siapapun. Dia bahkan mengumpatmu dengan kata-kata yang tidak pantas. Apa? Ahhh… perempuan yang lebih menjijikkan dari seorang pelacur? Wanita yang tak cukup dengan satu k****l. Sungguh bidadariku. Bangsa kami terbahak melihatnya.

Bodohnya, kau terluka. Menangis. Kembali dihantui rasa sakit. Lagi… kau menyakiti orang-orang di sekitarmu yang benar-benar peduli padamu. Mereka memintamu untuk tidak lagi memikirkannya. Bodohnya kau terus memeluk lukamu dan juga memeluk luka manusia spesialmu. Membuatmu dihantui mimpi buruk.

Manusia-manusia lain yang begitu menyayangimu bahkan menawarkan diri untuk melindungimu, meluruskan semuanya, tapi… lagi-lagi kau menghalanginya, nyaris mereka menyerah untuk menyadarkanmu. Hingga mereka mengatakan bahwa mereka terluka akan sikapmu yang mengabaikan peduli mereka. Kau masih saja peduli pada manusia spesialmu yang jelas-jelas ingin menyakitimu. Itu kata-kata yang cukup manjur untuk membuatmu berhenti melakukan kebodohan. Karena mereka tahu, kau tak akan mau melihat orang lain terluka, kau lebih memilih terluka sendiri daripada harus menyakiti orang lain.

Harusnya kau sadar. Sekalipun kau pelacur, bukan haknya untuk menghakimimu. Tuhan saja tak pernah menghakimi hamba-Nya.”

Sang bidadari terdiam, iblis menghentikan amukannya dan memilih meninggalkan sang bidadari sendirian termenung.

Monday, 9 September 2024

Aku Jatuh Cinta pada Hujan

 Aku akan selalu jatuh cinta berkali-kali pada hujan.

Ketika di rintik pertama tetesannya menyentuh bumi, senyumku otomatis akan merekah.

Saat aroma basah dari tanah dan tumbuhan tercium, saat itu juga aku bahagia.

Saat rinainya bergelimpah membasahi setiap sudut kota,

Saat nyanyian kodok mulai terdengar riang memanggil kembali hujan yang baru beberapa menit lalu berlalu.

Saat itulah aku merasa tenang.

Semesta sedang merayakan hal yang sama seperti yang kurasakan.

Aku suka menyimak hujan di balik jendela,

seolah alam bercerita padaku.

Tentang rahmat-Nya yang sedang dicurahkan pada bumi,

tentang penghiburannya pada beberapa makhluk yang mendamba,

tentang cinta-Nya yang selalu kureguk tanpa tau malu dan kerap serakah selalu meminta lebih.


Pada hujan,

Aku selalu jatuh cinta, Rabb-ku.

Aku akan tenggelam pada dunia yang kuciptakan,

Dunia yang membuatku selalu merasa tenang,

Sekalipun ada tangis, bukan tangis penyesalan.

Hujan seolah menjadi penghibur khusus untukku.

Membawaku lelap dalam buaian-Mu.

Tak jarang aku sengaja membiarkan tubuhku basah kuyup hanya untuk sekedar menyecap dinginnya tetesan hujan mengguyur tubuhku, membiarkan driver ojol mengenakan mantelnya sementara aku akan tertawa sumringah menyambut tetesannya di tubuhku.

Seperti bocah, beberapa orang menyebutku begitu.

Aku yang selalu suka hujan, terkadang membuat orang di sekitarku kesal.

Bagi mereka, hujan menghambat berbagai aktivitas.

Yah... Kuakui ada beberapa, tapi selebihnya aku tak peduli.

Momen hujan itu unik.

Berbagai julukan bahkan disematkan padaku oleh beberapa orang yang mengenalku.

Putri hujan, peri hujan, dan bocah.

Karena begitu cintanya aku pada hujan.

Hujan seolah menyulapku menjadi sosok yang jauh lebih ceria.

Aku yang biasanya pendiam dan melipir saat cuaca panas, begitu hujan akan berjingkat lincah menghindari genangan hujan atau tertawa saat melihat motif totol-totol yang diciptakan dari rintiknya pada pakaian yang kekanakan, sengaja betul berjalan pelan begitu gerimis datang.

Ahhh...

Spesial sekali hujan bagiku.

Terima kasih Rabb-ku untuk bentuk cinta-Mu padaku.

Monday, 1 July 2024

Gadis Kecil dan Permen Warna-Warni

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang gadis kecil di sebuah Rumah sakit.

Di tengah riuhnya suara di sekitar, mataku tertuju pada seorang bocah perempuan yang terlihat duduk diam.

Entah awalnya dari mana, akupun tak tahu awal mula dia muncul di depanku kapan.

Aku baru menyadari kehadirannya saat dengan sudut mataku, kulihat beberapa kali dia mencuri pandang padaku.

Iseng, kuputuskan untuk memergokinya.

Tentu saja dia segera membuang muka, terlihat menggemaskan menurutku.

Aku yang semula mengantuk, perlahan mengumpulkan kesadaran utuh.

Naluriku untuk mendekati sesuatu yang imut segera muncul.

Jika bocah lain terlihat berisik, berteriak, mengobrol dan bermain. Berbeda dengannya, gadis itu lebih memilih duduk diam di sebelah bapak-bapak yang tengah sibuk dengan handphonenya.

Sesekali dia mengayunkan kakinya, untuk kemudian menoleh kembali padaku.

Tentu saja aku segera memasang senyum termanis yang kupunya, lupa jika maskerku tentu menutupinya.

Saat kulihat dia membuang muka untuk kedua kalinya, kuputuskan untuk mendekat.

Aku teringat dengan permen yang pernah kubeli di minimarket dekat rumah, kebetulan aku membawanya.

Dalam benakku, biasanya bocah suka dengan permen atau hal-hal manis, apalagi permennya berwarna-warni.

Sebatang permen kusodorkan mendekati jemarinya. Tapi dia tidak merespon, sedikit kecewa, kucoba lagi. Tangannya seolah mau mengambil tapi ternyata tidak, bahkan dia memutuskan untuk tidak menoleh lagi padaku.

Baiklah, harga dirimu mahal juga bocah.

Maka kubiarkan permen itu masuk kembali ke tempat asalnya.

Selang beberapa lama, saat aku sendirian karena rekanku tengah melakukan pemeriksaan, aku tetap mengamati bocah kecil itu.

Kembali kukeluarkan permen yang tadi sempat kumasukkan lagi.

Kupegang sembari menimbang kapan waktu yang tepat untuk memberikannya.

Sempat terfikir untuk memberikan permen itu melalui orang tuanya, karena biasanya anak-anak terlalu malu mengambil sesuatu dari orang asing tanpa restu dari orang tua.

Sembari mengamati situasi, akhirnya seorang bapak yang duduk selisih satu kursi dengan bocah itu berdiri, mengulurkan tangan pada sang bocah dan mengajaknya pergi.

Bocah itu menurut tanpa banyak bertanya. Mengikuti langkah ayahnya mendekati meja resepsionis tempat beberapa perawat berjaga.

Ah... Rasanya aku seperti orang patah hati, saat kulihat langkahnya menjauh bersama sang ayah. Bahkan mereka menolehpun tidak.

Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan pada permen yang gagal menemukan pemilik barunya.

Ingin kuberikan pada bocah lain, tapi hati terlanjut menyesal untuk tidak memaksa bocah tadi menerimanya.

Tapi seperti keajaiban, dia kembali datang bersama sang ayah dan kali ini duduk tepat di sebelahku.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuulurkan permen tersebut kepada si bocah, tentu saja lebih dulu izin pada ayahnya.

Saat ayahnya memberi izin dan meminta bocah itu menerima, barulah permennya sampai ke tangan yang tepat.

Tentu saja aku lega.

Tapi aku kembali dibuat bertanya-tanya, saat kudapati setelah beberapa lama permen itu hanya dia genggam.

Tidak tertarik kah atau tidak suka?

Lagi-lagi aku kecewa, tapi yah... Mau bagaimana lagi, minimal aku sudah menyerahkannya, daripada nanti kepikiran sampai beberapa hari ke depan.

Selang berapa lama kemudian, ayahnya berdiri dan meminta bocah itu menunggu.

Dengan takzim dia mengangguk, duduk manis sembari menatap permennya.

Kuberanikan diri untuk bertanya, "Ga' dimakan permennya?"

Dia menatapku lalu melihat permennya, maka kuputuskan memberi bantuan untuk membuka permennya karena berfikir mungkin dia kebingungan bagaimana cara membukanya.

Begitu terbuka, kuulurkan kembali padanya. Diterimanya dengan senyum manis dan segera dinikmatinya.

Bahkan saat kutanya apakah permennya enak, dia menjawab 'enak' dengan riang.

Aihhhh.... Ingin kuculik dia.

Tapi lagi-lagi aku dibuat kecewa saat permen itu kembali hanya digenggamnya.

Aktivitas menjilat permen berhenti sempurna.

Mau tak mau aku memperhatikannya, bahkan khawatir permen itu jatuh dan terbuang percuma.

Heiii.... Bukan aku tidak ikhlas, tapi takut bocah itu menangis saat permennya jatuh. Meski dalam hati juga bertanya-tanya, kenapa permennya tidak segera dihabiskan.

Karena khawatir, kutawarkan diri untuk kembali membungkus permen itu. Biar bisa dia nikmati nanti.

Lagi-lagi gadis itu tidak menolak, beruntung aku belum membuang bungkus permennya.

Setelah kuserahkan kembali, suaranya terdengar.

"Nanti makan sama Abang."

Ahhhh.... Saat itu juga terjawab pertanyaan ku, dia hanya bocah kecil yang ingin berbagi apa yang dia punya. Beruntung sekali abangnya punya adik semanis, seimut dan seperhatian ini.

Seolah mulai terbuka, dia berbicara padaku, menyebut ayahnya, ibunya, abangnya.

Aku hanya tertawa saat mendengar dia bicara dengan nada seperti berbisik membuatku harus mencondongkan tubuh kearahnya agar bisa mendengar suaranya.

Manis.... Sekali.

Bocah cantik dan imut, serta tingkahnya yang menggemaskan. Aku suka.

Sesekali dia memperhatikan bocah lain sedang makan, dia sempat bertanya tentang sesuatu padaku, tapi karena suaranya terlalu kecil aku tak bisa menangkap dengan jelas maksud dari pembicaraannya.

Tidak lama kami berbisik-bisik manja, karena ayahnya memanggil.

Nurut dong dia, tentu saja.

Dengan langkah riang dia mendekat ke ayahnya dan ternyata Abang yang dari tadi dia sebutkan juga datang.

Dia menjadi lebih cerewet ternyata. Mengatakan banyak hal pada abangnya, beruntung abangnya juga terlihat menyayanginya.

Mereka sempat kembali duduk di depanku.

Awalnya abangnya sempat mengeluarkan hp, tapi kembali dimasukkannya saat gadis itu mengajak berbicara, bercerita.

Ahhh... Kakak beradik yang manis.

Yang mengerti tentang pentingnya fokus pada orang di sisimu saat bersamanya, bukan mengabaikan dan sibuk dengan diri sendiri bahkan tak jarang lebih peduli dengan gadgetnya.

Padahal momen kebersamaan itu akan lebih sempurna jika dihabiskan dengan mengobrol bersama. Obrolan ringan tak masalah. Bukan berarti tidak boleh melakukan hal lain, minimal jika tidak terlalu penting, cobalah untuk fokus dengan orang di dekat kita.

Beruntung aku bertemu teman kecil selama menunggu di sini, meski tak lama, tapi aku menemukan banyak sekali pelajaran dari interaksi singkat ini.

Tentang berbagi, kasih sayang, menghargai, serta adab.

Semoga sifat baiknya terus diterapkan sampai dewasa ya dek.

Terima kasih sudah nemenin kakak bisik-bisik manja.


Tuesday, 5 December 2023

Koleksi

Baru saja aku berbincang dengan teman lama yang sudah lama tidak kutemui.
Awalnya dia enggan berbicara, tercipta jeda yang cukup panjang hingga aku mulai iseng menghitung rintik hujan di luar sana.
Perlahan, satu kata meluncur dari bibirnya.
'Koleksi'
Akupun menoleh, menghentikan aktivitas konyol yang baru saja kulakukan.
Mulai memasang telinga lebih tajam, khawatir terlewatkan satu katapun darinya.
Jeda lagi.
Baiklah, kutunggu lagi dia untuk kembali berbicara.
Kali ini aku iseng mengetuk-ngetuk kepalaku, bertanya-tanya apakah otakku masih ada di dalam sana.

"Aku bodoh karena telah percaya."

Lagi-lagi kuhentikan aktivitas absurdku, mengubah posisi duduk, sempurna menghadapnya.
Seketika itu, mengalir deras ceritanya.

Ahhh...
Ternyata dia terluka karena kembali percaya bahwa akan ada laki-laki di luar sana yang mampu bertanggung jawab dengan kata-katanya.
Karena nyatanya, mereka hanya menganggap wanita sebagai koleksi, yang bisa dipilih saat dibutuhkan, dan ditinggalkan saat tak lagi berharga.

Wahhh... 
Tentu saja aku gelagapan saat mendapati bahunya mulai berguncang dan perlahan isakan itu menjadi kencang, sesekali sesenggukan.
Aku sempat berniat untuk memeluknya, tapi aku sendiri ikut kesal padanya.
Baiklah, biarkan saja dulu dia menangis.
Mungkin sekarang giliranku memarahinya.

Wahai....
Teman lamaku.
Kuberikan satu nasihat padamu.
Berharap pada manusia itu, menyakitkan.
Karena sejatinya, hati mereka sangat gampang berubah.
Bukankah ini bukan kali pertama kau terluka?
Tapi kenapa dengan bodohnya kau kembali terluka karena alasan yang sama?
Kau kira di luar sana masih banyak laki-laki yang mampu berkomitmen, bertanggung jawab pada kata dan sikapnya?
Tidak!
Jikapun ada, itu langka. Ajaib sekali jika kau menemukannya.
Tangismu makin kencang, ditingkahi derasnya hujan dan gemuruh di langit sana.
Kalian sedang berlomba mengeraskan suarakah?
Astaga... Aku hanya penonton kali ini.
Tidak, komentator lebih tepatnya.

Kau bilang, kau terluka saat mengetahui orang terdekatmu malah yang mengatakan bahwa wanita itu hanya koleksi, dengan dalih diapun pernah terluka karena pernah setia pada wanita.
Maka dia yang semula korban berubah menjadi pelaku dengan alasan tak ingin lagi terluka.
Tapi menjadi melukai?
Kekonyolan macam apa ini?
Apakah kalian sedang menciptakan lingkaran setan?
Ajaran sesat dari mana?
Jika ingin diperlakukan dengan baik, maka berlakulah baik.
Jika berlaku jahat, jangan salahkan alam saat berkeroyok membalas kejahatanmu.
Apa yang kau lakukan, akan ada ganjarannya.
Entah itu perbuatan baik, maupun perbuatan buruk.

Ohhhh.... Ayolah berhenti menangis, lihat matamu mulai membengkak.
Kau yang tak terbiasa menangis, mendadak menangis, lihatlah jadinya, membuka mata pun kau sulit.
Maaf kawan, aku ingin tertawa melihat sosokmu malam ini.
Ke mana dirimu yang begitu dingin dan tidak peduli pada sekitar.
Kau yang berdiri sendiri dengan angkuhnya tanpa pernah mau diusik bahkan kerap membentengi dirimu dengan dinding tak kasat mata agar orang tak mendekat.
Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?
Sejak kapan kau menjadi peduli?
Memikirkan hal-hal remeh temeh seperti ini?
Bukankah dulu kau selalu menertawakan kebodohan mereka yang masih percaya pada kata-kata manis.
Baiklah, kali ini aku yang menertawakan kebodohamu.

Apa?
Ahhh... Iya baiklah, kau hanya terluka karena kata-kata 'koleksi' yang dilontarkan temanmu sembari tertawa.
Tertawa di hadapanmu yang pernah menjadi korban dari para kolektor?
Kau yang masih belum sempurna sembuh, ditampar kenyataan bahwa orang terdekatmu, yang kau percaya akan berbeda dengan laki-laki bangsat di luar sana, ternyata sosoknya lebih menyeramkan dari yang kau bayangkan?
Saat menganggap mempermainkan hati seseorang itu menyenangkan.
Membuatmu yang sedang berusaha merajut mimpi bahwa masih ada tersisa makhluk asing di luar sana yang mau menerimamu apa adanya, yang mau memperjuangkanmu tanpa berhenti di tengah jalan, yang mau menemani tiap langkahmu dan berjuang bersama.
Nyatanya ... Tak ada.
Kau tetap sendiri.
Memeluk lukamu sendiri, pun menyembuhkannya sendiri.

Yah...
Baiklah, setidaknya aku menikmati ekspresi mu malam ini.
Kau lebih ekspresif, tidak seperti biasa. Kaku, seperti kanebo kering.
Tapi aku lebih suka melihat sosokmu yang dingin.
Kembalilah pada dirimu yang dulu, yang tak peduli, yang acuh, yang dingin.
Karena jika kau melemah, kau akan kembali terluka.
Ingat....
Aku mungkin bisa menemanimu.
Tapi ada saatnya aku tak ada bersamamu.
Lindungi dirimu sendiri.
Kenakan kembali topeng yang biasa kau bawa selama ini.

Lihat...
Hujan mulai berhenti.
Wah ... Tangismu pun berhenti.
Ayo kita pulang, istirahat. Ini sudah larut malam.

Wednesday, 23 November 2022

Our Story

 Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu lemah, cengeng, penakut, dsb. 

Karena kadar kesanggupan seseorang berbeda-beda dan bisa jadi kita belum pernah berada di posisi mereka maka dengan mudahnya kita melontarkan kata-kata demikian. 

Dalam hidup, kita dihadapkan dengan banyak pilihan, maka tugas kita memilih yang terbaik dan akan lebih baik lagi jika kita melibatkan Sang Pencipta dalam segala urusan. 

Benar, hidup ini bagaikan roda. Adakalanya kita berada di atas, di tengah, bahkan di titik terendah. Kecewa, marah, harap, bahagia. Tak jarang kita mengumpat, berteriak marah karena dipecundangi dunia. Merasa hidup tidak adil, mengeluh, meratap, hingga menangis mengiba.

Sungguh, tidak ada yang salah dengan sebuah tangisan. Jangan membuat batasan bahwa tangisan adalah kadar seseorang cengeng, lemah. Justru bagi mereka yang kuat, tangisan adalah titik terendah di mana mereka sudah tidak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, maka tangisan berbicara. 

Pun jangan membuat batasan hanya perempuan yang boleh menangis, Laki-laki tidak boleh, dianggap lemah. Sungguh itu paradigma yang menyesatkan. 

Silakan menangis, tanpa harus merasa malu, tanpa harus berfikir gendermu. Setidaknya dengan menangis membuktikan bahwa kita masih memiliki hati, kita masih seorang manusia. Dengan catatan, lakukan secukupnya, di tempat semestinya, karena hal yang berlebihan tidak pernah baik hasilnya.

Silakan meluapkan emosi, berbagi cerita. Ceritakan apa yang kita rasakan, kepada orang yang kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Karena tidak semua orang yang bertanya "kenapa?" benar-benar peduli dengan apa yang kita alami, lebih banyak sekedar ingin tahu untuk kemudian berlalu. 

Berceritalah, kitapun bisa meluapkan emosi kita lewat tulisan. Takut jika dibaca seseorang, ketahuan rahasia kita, langsung hapus atau bakar begitu kita selesai meluapkan emosi kita. Lebih baik lagi, jika kita bercerita pada Sang Pencipta, dijamin cerita kita akan lebih aman. Bisa saja kita diberikan cobaan, karena Dia rindu mendengar rintihan kita, cemburu karena kita sudah lama abai pada-Nya dan perlahan menjauh. Dan sungguh, dari semua do'a kita, Allah tidak pernah menolaknya. Dia mempunyai 3 jawaban: "Iya/Nanti/Aku punya yang lebih baik untukmu".

Maka tugas kita adalah berusaha, menunggu, menunggu jawaban itu datang. Tidak sekarang, nanti. Tidak di dunia, di akhirat. Jangan pernah putus harapan, karena jawaban itu pasti ada. Jawaban dari setiap do'a kita, harapan kita, pinta kita. 

Jika memang saat ini kendaraan yang kita kendarai sedang melalui jalan berbatu, mengalami guncangan hebat. Jangan pernah putus harapan. Kita sudah melakukan yang terbaik. Jika memang lelah, ambillah istirahat sejenak, menyiapkan perbekalan, menyusun rencana untuk ke depan. Kemudian bangkit dengan lebih gagah lagi.

Cintai dan hargai diri kita terlebih dulu untuk kemudian mencintai dan menghargai orang lain, maka kita akan dicintai dan dihargai orang lain. Lakukan dengan ikhlas. 

Dekap rasa sakit itu jadikan pembelajaran ke depan, simpan kenangan itu di tempat semestinya untuk kita temui dengan senyum lebar di kemudian hari. Hingga nanti, saat semuanya membaik kita bisa mengatakan pada kenangan pahit yang itu. "Ahhh... Aku pernah berada di masa ini dan kini aku sudah berada di masa yang lain. Terima kasih sudah menjadi kuat. Terima kasih sudah bertahan."