Belakangan ini, iblis mulai kebingungan dengan perubahan sang bidadari yang dikenalnya selama ini. Sang Bidadari yang kerap tersenyum ramah padanya, sekalipun kehadirannya membawa petaka, tak mampu membuat sang bidadari marah atau bersedih.
Tapi
kini, sang Bidadari mulai mengabaikannya, seolah kembali ke sosoknya yang
pertama kali iblis temukan. Sosok yang begitu dingin dan tak peduli pada
sekitarnya. Sosok yang dia bentuk dari kejatuhannya pertamanya setelah
habis-habisan ditipu oleh seorang manusia yang membuatnya buta akan cinta.
Sejak saat itu, sang bidadari menjadi sosok yang tak tersentuh, tersenyum
seadanya, berbicara seadanya.
Dia
kembali hidup dan lebih berwarna beberapa bulan lalu, tapi sayangnya kembali sang
iblis melihat pemandangan tragis dari sosok sang bidadari.
Kejatuhannya
yang kedua. Hanya karena kenaifannya, yang begitu mencintai seorang manusia, manusia
yang begitu spesial baginya. Begitu dijaga, dia pastikan selalu ada untuknya,
mengabulkan semua inginnya, mengalah pada inginnya, melindunginya, melangitkan namanya
untuk kebahagiaannya. Tapi apa yang dia terima?
Cacian,
makian, kebencian, fitnah dan hal buruk lainnya. Hebatnya lagi, setelah
mendapatkan semua perlakuan itu, sang Bidadari justru menyalahkan dirinya
sendiri. Membela manusia spesialnya, membuat terluka manusia lain yang
benar-benar peduli padanya.
Mata
itu kehilangan sinarnya, perlahan redup bersama jiwanya.
“Haruskah
ku hancurkan dunia agar tidak ada lagi makhluk yang bernama manusia?”
Setidaknya
inilah percakapan pertama yang terjadi setelah iblis jengah melihat bidadari
yang terlihat begitu menyedihkan.
Dengan
cepat sang bidadari menggeleng, “Kau tidak berhak melakukannya.”
Sang
Iblis terkekeh, “Kau tahu bidadariku yang naif. Kami cukup membisikkan
kata-kata manis, mereka manusia serakah akan bergerak dengan sendirinya bahkan
terkadang tanpa kami minta. Mereka berimprovisasi, mengacaukan tatanan dunia,
merusaknya.”
“Tidak
semuanya. Masih ada yang merawat dan memperbaikinya.”
“Hah!
Kau bela saja terus mereka, tapi lihat? Nasibmu berakhir menyedihkan di tangan
makhluk yang begitu kau cintai bernama manusia.”
“Itu
bukan salahnya.”
Sang
Iblis Kembali terbahak. “Wah… Sang bidadari kita ini benar-benar berwelas asih,
seperti yang dirumorkan. Tapi tidakkah kau lihat apa yang dilakukan manusia
yang kau cintai di belakangmu? Bahkan setelah ketiadaanmu di sisinya, dia
terus-menerus mengumpatmu, membencimu, memfitnahmu. Kau tidak marah?”
Sang
Bidadari menggeleng membuat Sang Iblis mendecak kesal.
“Kau
tahu kan apa yang dia lakukan? Kau lihat sendiri buktinya yang diberikan
manusia lain padamu?”
Tak
ada jawaban, Iblis kembali melanjutkan.
“Pertama,
dia menyalahkanmu karena tidak memilihnya. Berkoar ke sana kemari tentang
betapa terlukanya dia, bodohnya kau malah mengamini dan menganggap bahwa itu
memang salahmu.
Kedua,
dia mulai mengarang indah dengan mengatakan kau hewan berwujud manusia,
nyatanya kau bidadari yang menyelinap ke dunia manusia.
Ketiga,
dia kembali membuat dongeng dengan mengatakan kau tukang selingkuh. Kau tahu?
Ini terdengar konyol sekali. Aku yang murni seorang iblispun tertawa
melihatnya. Bagaimana mungkin dia menuduhmu selingkuh dan berkhianat? Sedangkan
selama ini tak pernah ada kejelasan apapun tentang hubungan kalian. Bahkan
dengan mulutnya sendiri, dia mengakuimu sebagai teman, rekan kerja kepada
orang-orang yang bertanya.
Kau
menahan diri untuk tidak terluka, memaklumi sikapnya. Kau menekan semua rasa
cemburu, kesepian, tak dianggap. Meski kau tahu kau tak pernah spesial baginya,
kau tetap berdiri di sisinya, menemaninya, menjaganya, melakukan apapun yang
kau bisa. Tak peduli meski harus berdebat dengan orang-orang yang tak suka, tak
peduli harus mengalah pada keegoisannya, tak peduli meski harus terluka dengan
semua perlakuannya. Kau tetap berdiri di sisinya seperti orang bodoh.
Kau
yang sejak awal tak pernah berniat untuk memberikan cinta setelah pernah
terluka begitu hebat, lengah dengan membiarkan pertahananmu menurun, waspadamu
menghilang, kau terjebak dalam perasaan tak perlu. Hingga akhirnya kau memilih
untuk tetap menemaninya hingga dia menemukan sosok yang dia cari selama ini.
Wahhh… lapang dada sekali bidadari kita ini. Khawatir benar manusia spesialnya
terluka sampai rela mengorbankan dirinya sendiri.
Lucunya
juga, dia sebenarnya tahu perasaanmu tapi tak berniat untuk bertindak.
Menikmati semua perhatianmu tapi tak paham tentang menderitanya kau dengan
pemikiran bahwa semua perasaan itu hanya kau rasakan sendiri.
Hingga
kau memantapkan hati, kau mundur memilih orang lain yang lebih bisa menghargai
arti kehadiranmu. Manusia spesialmu marah, tak terima. Membuatmu nyaris
melanggar janjimu pada manusia lainnya yang juga hendak melepasmu karena
melihat betapa matamu selalu berbinar bersama manusia spesialmu.
Beruntung,
manusia lainnya mencegahmu. Dan lebih beruntung lagi, manusia spesialmu justru
menjauh darimu, tak mengizinkanmu untuk mendekat. Andai dia bersikap seperti
biasa, kau pasti goyah. Diabaikan dan diasingkan saja kau masih bodoh terus
mencarinya, terus memikirkannya, terus menyalahkan dirimu sendiri karena dia
terluka. Padahal andai kau mau berfikir sedikit saja, seperti yang manusia
khususmu bilang, kau tidak bersalah.
Itu
murni salah manusia spesialmu. Kenapa dia menyia-nyiakan kesempatan yang ada
dengan dalih menunggu moment yang tepat. Mana dia peduli dengan lukamu karena
mengira hanya kau yang memiliki perasaan itu.”
Iblis
menjeda sejenak kalimatnya, memperhatikan raut wajah sang Bidadari. Tapi sosok
itu bungkam.
“Kesalahannya
yang tidak dengan cepat mempertegas hubungan kalian, dia lemparkan kepadamu
dengan mengatakan kau berkhianat?” Iblis Kembali terbahak.
“Aku
tidak pernah tahu jika seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki lebih
memikirkan moment daripada berfikir rasional untuk segera bertindak sebelum kau
direbut orang lain. Dia terlalu yakin bahwa kau akan selalu ada untuknya. Dia
lupa jika kau pernah terluka dan kau bisa dengan kejam menikam hatimu sendiri
untuk segera mengakhiri penantian yang melelahkan, mimpi-mimpi dan harapan. Kau
telah belajar banyak dari penantian yang sia-sia.
Dia
terlalu terlena dengan pemikiran itu. Padahal dia jelas tahu beberapa lelaki
berusaha mendekatimu, tapi dia merasa aman karena kau tak pernah menggubrisnya.
Sedangkan dia? Dengan santainya dekat dengan banyak wanita. Membuatmu makin
merasa kerdil dan berfikir kau tak pernah punya kesempatan. Tapi lihat? Saat
dia tahu kau memilih orang lain dan menyerah pada penantianmu, dia marah. Tak
pernah melihat bagaimana tingkahnya selama ini dekat dengan perempuan manapun,
menikmati kecemburuanmu. Tanpa tahu malu mengatakan dia tahu kau cemburu, tahu
kau menyukainya, tapi tak berniat melakukan apapun, bertahan dengan dalih
menuggu moment.
Lihat?
Akibat kesalahannya yang terlalu terlena, kau pergi. Dia marah, memakimu,
menyebarkan fitnah bahwa kau berselingkuh. Konyol sekali! Selingkuh itu hanya
berlaku bagi mereka yang memiliki hubungan pacaran atau menikah. Sedangkan
kalian? Tak punya hubungan apapun dengan siapapun. Dia bahkan mengumpatmu
dengan kata-kata yang tidak pantas. Apa? Ahhh… perempuan yang lebih menjijikkan
dari seorang pelacur? Wanita yang tak cukup dengan satu k****l. Sungguh
bidadariku. Bangsa kami terbahak melihatnya.
Bodohnya,
kau terluka. Menangis. Kembali dihantui rasa sakit. Lagi… kau menyakiti
orang-orang di sekitarmu yang benar-benar peduli padamu. Mereka memintamu untuk
tidak lagi memikirkannya. Bodohnya kau terus memeluk lukamu dan juga memeluk
luka manusia spesialmu. Membuatmu dihantui mimpi buruk.
Manusia-manusia
lain yang begitu menyayangimu bahkan menawarkan diri untuk melindungimu,
meluruskan semuanya, tapi… lagi-lagi kau menghalanginya, nyaris mereka menyerah
untuk menyadarkanmu. Hingga mereka mengatakan bahwa mereka terluka akan sikapmu
yang mengabaikan peduli mereka. Kau masih saja peduli pada manusia spesialmu
yang jelas-jelas ingin menyakitimu. Itu kata-kata yang cukup manjur untuk
membuatmu berhenti melakukan kebodohan. Karena mereka tahu, kau tak akan mau
melihat orang lain terluka, kau lebih memilih terluka sendiri daripada harus
menyakiti orang lain.
Harusnya
kau sadar. Sekalipun kau pelacur, bukan haknya untuk menghakimimu. Tuhan saja
tak pernah menghakimi hamba-Nya.”
Sang
bidadari terdiam, iblis menghentikan amukannya dan memilih meninggalkan sang
bidadari sendirian termenung.