Tuesday 5 December 2023

Koleksi

Baru saja aku berbincang dengan teman lama yang sudah lama tidak kutemui.
Awalnya dia enggan berbicara, tercipta jeda yang cukup panjang hingga aku mulai iseng menghitung rintik hujan di luar sana.
Perlahan, satu kata meluncur dari bibirnya.
'Koleksi'
Akupun menoleh, menghentikan aktivitas konyol yang baru saja kulakukan.
Mulai memasang telinga lebih tajam, khawatir terlewatkan satu katapun darinya.
Jeda lagi.
Baiklah, kutunggu lagi dia untuk kembali berbicara.
Kali ini aku iseng mengetuk-ngetuk kepalaku, bertanya-tanya apakah otakku masih ada di dalam sana.

"Aku bodoh karena telah percaya."

Lagi-lagi kuhentikan aktivitas absurdku, mengubah posisi duduk, sempurna menghadapnya.
Seketika itu, mengalir deras ceritanya.

Ahhh...
Ternyata dia terluka karena kembali percaya bahwa akan ada laki-laki di luar sana yang mampu bertanggung jawab dengan kata-katanya.
Karena nyatanya, mereka hanya menganggap wanita sebagai koleksi, yang bisa dipilih saat dibutuhkan, dan ditinggalkan saat tak lagi berharga.

Wahhh... 
Tentu saja aku gelagapan saat mendapati bahunya mulai berguncang dan perlahan isakan itu menjadi kencang, sesekali sesenggukan.
Aku sempat berniat untuk memeluknya, tapi aku sendiri ikut kesal padanya.
Baiklah, biarkan saja dulu dia menangis.
Mungkin sekarang giliranku memarahinya.

Wahai....
Teman lamaku.
Kuberikan satu nasihat padamu.
Berharap pada manusia itu, menyakitkan.
Karena sejatinya, hati mereka sangat gampang berubah.
Bukankah ini bukan kali pertama kau terluka?
Tapi kenapa dengan bodohnya kau kembali terluka karena alasan yang sama?
Kau kira di luar sana masih banyak laki-laki yang mampu berkomitmen, bertanggung jawab pada kata dan sikapnya?
Tidak!
Jikapun ada, itu langka. Ajaib sekali jika kau menemukannya.
Tangismu makin kencang, ditingkahi derasnya hujan dan gemuruh di langit sana.
Kalian sedang berlomba mengeraskan suarakah?
Astaga... Aku hanya penonton kali ini.
Tidak, komentator lebih tepatnya.

Kau bilang, kau terluka saat mengetahui orang terdekatmu malah yang mengatakan bahwa wanita itu hanya koleksi, dengan dalih diapun pernah terluka karena pernah setia pada wanita.
Maka dia yang semula korban berubah menjadi pelaku dengan alasan tak ingin lagi terluka.
Tapi menjadi melukai?
Kekonyolan macam apa ini?
Apakah kalian sedang menciptakan lingkaran setan?
Ajaran sesat dari mana?
Jika ingin diperlakukan dengan baik, maka berlakulah baik.
Jika berlaku jahat, jangan salahkan alam saat berkeroyok membalas kejahatanmu.
Apa yang kau lakukan, akan ada ganjarannya.
Entah itu perbuatan baik, maupun perbuatan buruk.

Ohhhh.... Ayolah berhenti menangis, lihat matamu mulai membengkak.
Kau yang tak terbiasa menangis, mendadak menangis, lihatlah jadinya, membuka mata pun kau sulit.
Maaf kawan, aku ingin tertawa melihat sosokmu malam ini.
Ke mana dirimu yang begitu dingin dan tidak peduli pada sekitar.
Kau yang berdiri sendiri dengan angkuhnya tanpa pernah mau diusik bahkan kerap membentengi dirimu dengan dinding tak kasat mata agar orang tak mendekat.
Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?
Sejak kapan kau menjadi peduli?
Memikirkan hal-hal remeh temeh seperti ini?
Bukankah dulu kau selalu menertawakan kebodohan mereka yang masih percaya pada kata-kata manis.
Baiklah, kali ini aku yang menertawakan kebodohamu.

Apa?
Ahhh... Iya baiklah, kau hanya terluka karena kata-kata 'koleksi' yang dilontarkan temanmu sembari tertawa.
Tertawa di hadapanmu yang pernah menjadi korban dari para kolektor?
Kau yang masih belum sempurna sembuh, ditampar kenyataan bahwa orang terdekatmu, yang kau percaya akan berbeda dengan laki-laki bangsat di luar sana, ternyata sosoknya lebih menyeramkan dari yang kau bayangkan?
Saat menganggap mempermainkan hati seseorang itu menyenangkan.
Membuatmu yang sedang berusaha merajut mimpi bahwa masih ada tersisa makhluk asing di luar sana yang mau menerimamu apa adanya, yang mau memperjuangkanmu tanpa berhenti di tengah jalan, yang mau menemani tiap langkahmu dan berjuang bersama.
Nyatanya ... Tak ada.
Kau tetap sendiri.
Memeluk lukamu sendiri, pun menyembuhkannya sendiri.

Yah...
Baiklah, setidaknya aku menikmati ekspresi mu malam ini.
Kau lebih ekspresif, tidak seperti biasa. Kaku, seperti kanebo kering.
Tapi aku lebih suka melihat sosokmu yang dingin.
Kembalilah pada dirimu yang dulu, yang tak peduli, yang acuh, yang dingin.
Karena jika kau melemah, kau akan kembali terluka.
Ingat....
Aku mungkin bisa menemanimu.
Tapi ada saatnya aku tak ada bersamamu.
Lindungi dirimu sendiri.
Kenakan kembali topeng yang biasa kau bawa selama ini.

Lihat...
Hujan mulai berhenti.
Wah ... Tangismu pun berhenti.
Ayo kita pulang, istirahat. Ini sudah larut malam.

Wednesday 23 November 2022

Our Story

 Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu lemah, cengeng, penakut, dsb. 

Karena kadar kesanggupan seseorang berbeda-beda dan bisa jadi kita belum pernah berada di posisi mereka maka dengan mudahnya kita melontarkan kata-kata demikian. 

Dalam hidup, kita dihadapkan dengan banyak pilihan, maka tugas kita memilih yang terbaik dan akan lebih baik lagi jika kita melibatkan Sang Pencipta dalam segala urusan. 

Benar, hidup ini bagaikan roda. Adakalanya kita berada di atas, di tengah, bahkan di titik terendah. Kecewa, marah, harap, bahagia. Tak jarang kita mengumpat, berteriak marah karena dipecundangi dunia. Merasa hidup tidak adil, mengeluh, meratap, hingga menangis mengiba.

Sungguh, tidak ada yang salah dengan sebuah tangisan. Jangan membuat batasan bahwa tangisan adalah kadar seseorang cengeng, lemah. Justru bagi mereka yang kuat, tangisan adalah titik terendah di mana mereka sudah tidak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, maka tangisan berbicara. 

Pun jangan membuat batasan hanya perempuan yang boleh menangis, Laki-laki tidak boleh, dianggap lemah. Sungguh itu paradigma yang menyesatkan. 

Silakan menangis, tanpa harus merasa malu, tanpa harus berfikir gendermu. Setidaknya dengan menangis membuktikan bahwa kita masih memiliki hati, kita masih seorang manusia. Dengan catatan, lakukan secukupnya, di tempat semestinya, karena hal yang berlebihan tidak pernah baik hasilnya.

Silakan meluapkan emosi, berbagi cerita. Ceritakan apa yang kita rasakan, kepada orang yang kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Karena tidak semua orang yang bertanya "kenapa?" benar-benar peduli dengan apa yang kita alami, lebih banyak sekedar ingin tahu untuk kemudian berlalu. 

Berceritalah, kitapun bisa meluapkan emosi kita lewat tulisan. Takut jika dibaca seseorang, ketahuan rahasia kita, langsung hapus atau bakar begitu kita selesai meluapkan emosi kita. Lebih baik lagi, jika kita bercerita pada Sang Pencipta, dijamin cerita kita akan lebih aman. Bisa saja kita diberikan cobaan, karena Dia rindu mendengar rintihan kita, cemburu karena kita sudah lama abai pada-Nya dan perlahan menjauh. Dan sungguh, dari semua do'a kita, Allah tidak pernah menolaknya. Dia mempunyai 3 jawaban: "Iya/Nanti/Aku punya yang lebih baik untukmu".

Maka tugas kita adalah berusaha, menunggu, menunggu jawaban itu datang. Tidak sekarang, nanti. Tidak di dunia, di akhirat. Jangan pernah putus harapan, karena jawaban itu pasti ada. Jawaban dari setiap do'a kita, harapan kita, pinta kita. 

Jika memang saat ini kendaraan yang kita kendarai sedang melalui jalan berbatu, mengalami guncangan hebat. Jangan pernah putus harapan. Kita sudah melakukan yang terbaik. Jika memang lelah, ambillah istirahat sejenak, menyiapkan perbekalan, menyusun rencana untuk ke depan. Kemudian bangkit dengan lebih gagah lagi.

Cintai dan hargai diri kita terlebih dulu untuk kemudian mencintai dan menghargai orang lain, maka kita akan dicintai dan dihargai orang lain. Lakukan dengan ikhlas. 

Dekap rasa sakit itu jadikan pembelajaran ke depan, simpan kenangan itu di tempat semestinya untuk kita temui dengan senyum lebar di kemudian hari. Hingga nanti, saat semuanya membaik kita bisa mengatakan pada kenangan pahit yang itu. "Ahhh... Aku pernah berada di masa ini dan kini aku sudah berada di masa yang lain. Terima kasih sudah menjadi kuat. Terima kasih sudah bertahan."

 


 


Sunday 15 November 2020

Aku Ingin Kembali

 

sumber: google.com
 

Kemarin aku baru saja menyelesaikan sebuah pelatihan yang membuatku tersadar akan beberapa hal. Aku melupakan sisi nikmat di mana aku tenggelam dalam bacaan, menyibukkan diri di antara tumpukan buku, melelahkan jemari dengan menulis apa saja yang bisa kutulis, belajar banyak hal untuk kemudian tersenyum menertawakan kebodohanku dan betapa dangkalnya ilmuku.

Hari pertama pelatihan, kelas bergabung. Ada satu sosok wanita cantik yang menarik perhatianku. Kritis, pintar, dan cantik. Itu yang bisa kuungkapkan untuk menggambarkan sosok wanita mengagumkan itu. Sosok itu juga yang menyadarkanku bahwa sudah lama aku meninggalkan kebiasaanku sekaligus membuatku iri akan potensi yang dimilikinya.

Dengan dua buah kalimat, "Duta Bahasa" dan "Kulahap habis buku itu.", cukup membuat emosiku bergejolak. Ada rasa iri, malu, kagum, sekaligus rindu. Mendadak pipiku terasa hangat. Bukan karena menangis, karena aku sedang menahan gejolak keempat perasaan itu.

Aku terlempar ke masa di mana aku pernah begitu menikmati saat-saat menenangkan menghabiskan waktu di perpustakaan kota atau perpustakaan sekolah maupun toko buku. berlama-lama di sana, dengan jemari yang menelusuri setiap lekukan buku yang hampir semuanya menarik menurutku.Ingin sekali kuborong semua buku itu untuk kemudian kupindahkan ke rumahku. Itulah kenapa aku getol sekali ingin mengoleksi buku untuk kemudian membuat perpustakaan mini di rumahku. Sayangnya bukuku terlanjur dihibahkan ibu kepada tukang loak, beruntung aku masih bisa menyelamatkan buku-buku semasa kuliah.

Aku ingat, jika senggang di rumah atau di kantor, aku akan menuliskan apapun untuk mengisi waktu luang, jika kebetulan saat itu aku sedang malas membaca. Aku orang yang suka mengamati, maka apa yang kuamati akan kutulis dalam buku untuk kemudian kupindahkan ke dalam laptop. Aku akan menuliskan hal-hal yang menurutkan bisa bermanfaat untukku dan orang lain. Kupilah-pilih mana yang baik untuk kutulis mana yang tidak. Biasanya aku menulis untuk mengingatkanku sendiri, ku share dengan tujuan siapa tahu bisa bermanfaat untuk orang lain.

Maka keliru jika orang mengira aku menulis untuk menyindir pihak tertentu, karena sejatinya aku menulis untuk mengingatkn diriku sendiri mana yang baik dan mana yang tidak.

Tapi, kebiasaan itu sudah lama kutinggalkan. Mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan karena hal sepele aku melupakan kebiasaan itu. Kehilangan data  tentang semua karya tulis baik fiksi maupun non fiksi sekaligus rusaknya notebook beberapa waktu lalu membuatku seolah patah sayap. Jika sebagian orang berfikir kenapa tidak memulai lagi.

Kalian tidak akan mengerti gejolak perasaan saat meneruskan cerita yang sudah ada dan menuliskan yang baru. Ada satu karya fiksiku yang belum kurampungkan, karya yang benar-benar membuatku mencurahkan pikiran dan waktuku untuk mengolah diksi apa yang pantas kumasukkan ke dalamnya. Sudah kucoba untuk menulis kembali cerita yang sama, tapi selalu ada yang kurang di dalamnya. Ada kata-kata yang tidak mengena, berbeda dengan tulisan awalku. Tulisan kedua tidak akan sama dengan tulisan pertama. Tulisan ini kosong, kehilangan jiwanya.

Aku juga mencoba untuk mencari siapa tahu aku menyimpan tulisan itu di tempat lain, tapi tidak, aku tidak pernah memindahkannya. Hambar, aku seolah kehilangan jiwa.

Seseorang pernah membaca cerita fiksiku itu dan menilai jika kata-kata yang kugunakan terlalu sarkasme serta menanyakan apa tujuanku menulis,

Kuakui aku ingin menjadi penulis, tapi dia membantah jika tulisanku terlalu sarkas, publik tidak akan menerimanya. Jika ingin menjual karya, aku harus menyesuaikan dengan minat pembaca. Tapi, aku tidak peduli. Aku menulis untuk kesenanganku, di samping aku ingin orang mengenalku dengan ciri khasku dalam menulis.

Jika aku meniru, mengubah gayaku, itu menjadi bukan aku. Bukankah penulis mudah dikenali karyanya karena gaya penulisannya? Aku menuliskan berdasarkan fakta, lagipula itu cerita fiksi, tak melulu membahas logika, pun tidak melulu terercaya dalam perasaan haru biru. Aku benci roman picisan yang mendayu.

Aku yang terbiasa membuat ending menyedihkan dengan mengakhiri hidup tokoh utama, diprotesnya habis-habisan, Hey! Ini tulisanku, ini ceritaku, dan ini gayaku.

Baiklah, kembali lagi ke awal cerita. Aku iri juga iri pada gadis itu, dia mengingatkan dengan sosokku yang dulu, dan sekarang aku meringkuk mengesampingkan kesenangan itu untuk kemudian terjebak pada hal yang sia-sia.

Aku mendambakan kebebasanku, sepak terjangku yang terkadang terlalu spontan, kata-kataku yang lugas.

Aku... Ingin kembali.

Hei, Orie tokoh utama dalam cerita fiksiku, bangkitkan untuk untuk kembali mengembangkan kisahmu. Aku terlalu lama tertidur dan meringkuk di sudut terjauh jiwaku.

Tuesday 13 November 2018

Ayah di Mataku

Happy milad ayah...
Barakallah fii umrik.

Kemarin pagi, saat kulihat layar di HP berkedip, muncullah reminder tentang hari ulang tahun beliau, beserta 2 (dua) digit angka yang menerangkan umur beliau sekarang.
56 tahun, agak lama kutatap layar di HP, beberapa pikiran dan rencana kutepikan lebih dulu karena harus bersiap packing utk keberangkatan kembali ke kota kelahiran.
Ingin ku telepon beliau segera, mengucapkan selamat ulang tahun, dan memberikan beberapa do'a. Tapi saat kulirik arloji di pergelangan tangan kiri, aku sadar, ini jam sibuknya. Kembali kuurungkan niatku.
Selama di perjalanan pulang, aku memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan dan angka yang terus tertera di layar HP.
56 tahun, ayahku tidak lagi muda.
Aku sadar, beliau tidak se fit dulu. Tubuhnya mulai lelah, tidak jarang terkadang terserang penyakit.
Apa yang sudah kuberikan padanya selama ini?
Hanya kemanjaan yang kuingat, hanya kata-kata "anak ayah" yang kerap mereka lontarkan hingga aku menginjak dewasa seperti ini, karena kerap mengandalkan beliau untuk pergi ke mana-mana.
Aku suka, suka dengan sebutan "anak ayah", aku suka saat bergantung pada beliau, menunggu dia menjemputku sekolah, pulang kerja, kuliah, main dengan teman.
Aku tak ingin kehilangan moment saat kami terkadang sesekali bercakap tentang aktivitas dan rutinitas sepanjang perjalanan pergi atau pulang.
Aku tak ingin kehilangan moment menatap punggungnya saat aku dibonceng beliau.
Ayah...
Sosok yang penyabar, semarah apapun beliau tak pernah memukul, memilih tidur jika terlalu penat dengan masalah, memilih menghindar untuk meredakan amarah.
Terbersit ketakutan saat kutahu aku bukan lagi putri kecilmu yang bebas untuk selalu bermanja padamu. Aku akan meninggalkanmu, atau sebaliknya.
Aku takut, tidak bisa mendengarkan suaramu dibalik pintu kamar saat membangunkan kami, anakmu untuk sholat subuh.
Aku takut tidak bisa mendengar gilasan roda pagar saat kau membukanya untuk menuju masjid di waktu subuh, maghrib atau isya.
Aku takut, tidak bisa mendengar suara motormu yang memasuki pekarangan rumah.
Aku takut tidak bisa mendengar suaramu memanggil kami untuk mengingatkan makan.
Aku takut tidak bisa meminta pendapatmu untuk keputusan yang kuambil.
Aku takut tidak bisa bersamamu lagi dalam setiap langkah-langkahku.
Ada ketakutan itu, takut tak bisa kutemukan sosokmu di sana, padanya.

Ayah, orang yang supel.
Selalu mengutamakan pendidikan untuk anak-anaknya.
Mengingatkan kami untuk bersikap sederhana.
Yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam.
Yang membiarkanku memilih untuk semua keputusan yang kuhadapi.
Ketika ibu melarangku mengikuti eskul bela diri, beliau dengan santainya menjawab "biarkan saja, perempuan juga butuh ilmu bela diri untuk melindungi dirinya."
Ketika ibu melarangku ikut eskul pecinta alam, beliau dengan ringan menjawab "Biarkan saja, mungkin dia ingin jadi penjelajah." dan saat aku pulang dari diksar dalam keadaan kotor, ibu mengomel, ayah hanya berucap "gimana? Enak?" maka segera kujawab dengan cengiran, bercerita asal mula kotoran ini bisa kudapat.
Saat ibu melarangku belajar mengendarai motor, beliau dengan santai menjawab "biarkan saja, toh kalau jatuh nanti dia juga kapok." alhasil aku memecahkan kaca spion akibat nekat belajar sendiri, sementara ibu kembali mengomel, ayah cuma geleng-geleng kepala.
Ayah mengerti jiwa bebasku, keras kepalaku. Saat aku protes kenapa tidak membiarkan adik mandiri seperti aku, beliau hanya menjawab "dia tidak akan sanggup sepertimu." maka saat itu juga aku bungkam.
Ayah yang akan bertanya bagaimana sekolahmu, materi apa yang kau dapatkan, ilmu apa yang kau pelajari, PR apa yang belum kau kerjakan. Pertanyaan yang kerap beliau sampaikan saat aku kecil dan pulang sekolah.
Meski sekarang kami jarang bercakap, tapi aku tahu ayah masih peduli.
Tak jarang kudapati pakaianku sudah terlipat rapi di atas tempat tidur saat pulang kerja, karena beliau biasanya menyempatkan diri mencuci baju saat senggang.
Atau terkadang rusuh di dapur pagi2 menyiapkan sarapan jika kami ada kegiatan tambahan di luar, sekaligus menyiapkan bekal.
Kalah rusuh dengan ibu yang tengah mengaji.
Bahkan saat aku berangkat, saat tangan itu mengulurkan uang saku tambahan, kutolak dengan halus.
Sempat kulihat tangannya yang semakin kurus.
Siapkah aku berpisah dengannya?
Aku berhitung, mengingat usia beliau yang tidak bisa dibilang muda lagi, mengingat ceramah tentang rata-rata umur orang-orang di Indonesia.
Siapkah aku?
Tidak, kuharap ayah selalu berumur panjang dan selalu diberi kesehatan oleh Allah.
Jaga beliau ya Rabb-ku. Layaknya beliau menjagaku, putri ketiganya sejak kecil.
Putrimu ini, masih ingin bermanja padamu ayah.
Masih ingin mendengar omelanmu, suaramu.
Ayah sangat sederhana.
Jika dari ibu aku menjadi sosok yang dingin dan tegas.
Dari ayah aku menjadi sosok yang selalu mengevaluasi untuk semua keputusan yang kubuat. Dari ayah aku belajar mempertanggungjawabkan semua keputusanku, bersiap dengan semua konsekuensinya.
Karena ayah sudah mengajarkanku sejak kecil, dengan membiarkanku memilih, beliau hanya memberi gambaran singkat untuk hal-hal apa yang akan kuhadapi selanjutnya.
Ayah tidak akan melarang kami, selagi kami bisa memberikan argumen yang tepat dan bertanggung jawab dalam semua keputusan, baik ataupun buruk hasilnya kelak, kami harus menghadapinya.
Jika sebagian orang mulai nyinyir karena aku masih tetap merepotkan ayah diusia ini, maka satu jawabanku "Aku hanya ingin berhutang budi pada beliau, untuk kemudian biarkan aku membalasnya seumur hidupku."
Ayah...
Maaf aku gagal untuk kali ini, tapi masih ada sedikit harapan. Di antara sedikit itu, aku harap masih bisa memenuhi inginmu.
Maaf aku tak bisa mengatakan semuanya langsung, aku takut tak akan ada kata yang keluar dari mulutku jika berhadapan denganmu. Bukan aku gentar menghadapmu, aku khawatir tak mampu menahan air mataku untuk mengatakan semuanya.
Selalu sehat ayah, selalu kuat, panjang umur. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu.
Dan aku... Tetaplah putri kecilmu, tak ada yang berubah.

Untukmu, siapapun yang akan mendampingiku, inilah sebagian dari ketakutanku.
Ketika aku jauh dari ayahku, aku takut tak kudapati sosoknya dalam dirimu. Tak mesti utuh, mnimal bimbing aku dengan sabar.

Monday 18 June 2018

Jangan Biarkan Isi Hatimu Berserakan di Semua Tempat


Hati manusia adalah gudang semua rasa. Senang, sedih, kecewa, marah, terharu, rindu, dan masih banyak lagi rasa yang akan muncul di sana selama seseorang itu masih bernyawa. Sudah tak bernyawapun masih memiliki rasa, takut atau bahagia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di dunia.
Tak jarang kita dapati berbagai ungkapan isi hati muncul di beranda media sosial. Dari hal sepele sampai yang rumit.
Saat jatuh cinta. Siapapun pasti pernah diserang oleh virus merah jambu ini. Berbagai ungkapan dan kalimat penyair berusaha menggambarkan 'wajah' dari sang cinta.
Maka akan kita dapati status-status ungkapan cinta, rindu, sayang, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang sang gebetan atau si doi langsung di tag biar orang tau siapa yang dia maksud, atau ingin pengakuan atas kepemilikan, entah itu sudah sah atau belum. Lalu muncullah komentar ucapan selamat, do'a, pemalakan, dll.
Saat marah, maka sumpah serapah dan caci maki juga akan muncul di beranda. Kurang puas main sindir, tag langsung orangnya. Rusuhlah komentar dari status itu, bukan hanya dari mereka yang berseteru, tapi terkadang kita dan orang-orang luar yang tidak terlibat ikut rusuh. Nimbrung tanpa tau perkara aslinya bagaimana. Menghujat atas yang benar dan salah. Kalah heboh dari sang hakim yang memutuskan suatu perkara.
Saat sedih atau kecewa. Kalimat mendayu dan penuh keluh-kesah. Kita merasa kitalah korban atas ketidak adilan atau musibah yang terjadi. Kurang afdol hanya dengan kata-kata, upload foto dengan mata yang berlinang air mata, dan hidung merah. Maka muncullah ucapan belasungkawa yang entah sekedar basa-basi atau memang tulus adanya.
Termasuk hal remeh temeh lainnya. Habis mandi, "cekrik" foto dengan berbagai macam gaya tapi wajah tetap sama. Melamun, bosan, "Cekrik" upload foto lebih dari 3 dengan caption yang dibuat semenarik mungkin. Bahkan saat belajar, dan hal-hal tidak penting lainnya. Bisa upload entah itu status atau foto dengan rentang waktu yang singkat dalam sehari.
Pun begitu saat patah hati, berhasil meraih sesuatu, dan semua rasa yang kita rasakan tak luput kita share di media sosial.
Boleh jadi, sekedar dijadikan moment untuk mengenang masa. Boleh jadi merasa semua orang wajib tahu apa yang kita rasakan, pun boleh jadi kurang kerjaan.
Apapun alasannya, memang itu hak kita. Medsos punya kita, bodo amat orang mau bilang apa. Benar, statement ini tidak salah. Tapi jika kita mau sedikit saja berfikir, hanya sedikit, kalau banyak nanti otak kalian tidak sanggup. Apakah semua orang yang nimbrung di status kita mengatakan yang sebenarnya? Apakah mereka yang berkomentar dengan keluh kesah kita benar-benar sepeduli itu, atau hanya basa-basi? Mungkin kita merasa senang dengan jumlah 'like' dan 'coment' yang berjibun, merasa semua orang memperhatikan kita. Tapi... Adakah dari mereka yang mengucapkan kalimat basa-basi, benar-benar hadir di sisi kita untuk menghibur, merangkul di saat sedih, ikut tertawa di saat kita bahagia? Apakah mereka yang membela kita saat kita bertengkar di dunia maya benar-benar mendukung kita? Tidak, jikapun ada biasanya itu teman kita yang sebenarnya. Dan, orang yang benar-benar peduli tidak akan menanyakan hal basa-basi, melainkan langsung datang, menghubungi, bertanya cemas, ikut sedih, bahkan ikut bahagia bersama kita. Bukan hanya melontarkan komentar basa-basi.
Apakah setelah kita mengeluarkan isi hati di medsos semua permasalahan selesai? Tidak. Masalah justru akan merembet kemana-mana. Sebagai contoh, kita punya masalah dengan seseorang, bertengkar. Rusuh di medsos komentar-komentar pro dan kontra. Yang harusnya masalah hanya melibatkan 2 orang, akhirnya teman, kerabat, bahkan orang yang tidak kita kenal ikut berdebat. Bukannya menyelesaikan masalah, malah memperkeruh, memanasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang lebih emosi dari kita. Alhasil jadilah ladang penebar kebencian medsos kita.
Masalah lain, saat jatuh cinta kita rusuh membuat status, baru jadian heboh upload foto mesra, bahkan kalah mesra dengan kakek nenek kita yang sudah bersama puluhan tahun. Mengobral kata cinta ke mana-mana, melempar kata sayang dan rindu sedemikian rupa. Tiap menit bahkan detik. Takut sekali dia tidak tahu kalau kita menyukainya, sedangkan hakikatnya cinta itu bukan melalui kata-kata. Justru ketika semakin sering diucapkan akan terasa hambar, tak bermakna. Jangan-jangan malah mengaburkan makna sejatinya. Meyakinkan hati bahwa itu cinta, sedangkan kita sendiri bingung apa itu cinta. Ngotot sekali bahwa itu cinta.
Lalu, saat patah hati, putus. Rusuhlah kita menghapus semua kenangan, sambil berlinangan air mata. Aduh.... Ribet sekali perkara hati ini.
Ini sebagian ada dalam status yang dibuat oleh bang Tere, penulis favorite saya. Tapi saya setuju dengan argumentnya.
Sekali lagi, jika kita mau berfikir. Tidak semua orang yang tidak ikut nimbrung di status kita itu memang tidak peduli. Justru mereka bersikap tidak peduli karena terlalu merasa terganggu dengan status-status yang kita buat. Bisa jadi malah gebetan atau doi yang kita incar merasa ilfil dengan ulah kita.
Jika orang yang sedikit waras, akan berfikir ulang saat melihat gebetannya mengeluarkan makian dan sumpah serapah yang menakjubkan. Tidak menutup kemungkinan kalimat itu akan dia lontarkan pada kita. Belum lagi jika kita sibuk mengeluh tentang hidup kita, kita bisa saja di cap tukang pengeluh. Aduh... Jangan terlalu merasa bahwa sosmed itu sepenuhnya hak kalian. Ada orang yang melihat, teman, guru, dosen, keluarga, orang-orang tidak kenal yang berteman di dunia maya. Bagaimana mungkin mau kita tunjukkan semua kekurangan kita, kelebihan kita.
Bahkan beberapa penelitian membuktikan, orang-orang yang benar-benar bahagia atas hidupnya justru tidak banyak membagikannya di media sosial. Menjadikan moment itu tetap berharga untuknya dan orang-orang yang bersamanya. Jikapun diabadikan, akan tersimpan rapi dalam album kenangannya. Sehingga bisa dia nikmati kapan saja jika dia mau. Termasuk hal-hal membanggakan lainnya, tak perlu semua diumbar, biarkan orang lain yang melihat sendiri, tidak perlu diperlihatkan secara berlebihan. Mereka yang bijak, yang benar-benar luas wawasannya, tak pernah rusuh jepret sana sini untuk menunjukkan prestasinya, tapi dunia dengan sendirinya menjepret dan mengabadikan prestasinya. Mereka yang benar-benar dermawan ahli ibadah, tidak akan rusuh jepret sana sini, update status sana sini untuk menunjukkan betapa dermawan dan ahlinya dia beribadah, dia rahasiakan, sadar jika penonton dan pembalas terbaik adalah penciptanya. Apalagi sampai selfie kalau lagi ngaji atau sholat. Kalaupun ada yang terjepret kamera, itu bukan keinginan mereka, melainkan oeang lain yang ingin mengetuk hati sesama untuk berbuat baik juga.
Untuk kita yang punya masalah, entah skala kecil atau besar. Bagi mereka yang mengerti arti privasi dalam hidup, akan menyimpannya rapat-rapat. Termasuk masalah orang lain yang sengaja atau tidak dia ketahui. Jika kita saja tidak bisa menyimpan aib kita sendiri, tidak bisa menjaga rahasia kita sendiri, bagaimana bisa kita menyimpan rahasia dan aib orang lain? Maka orang yag melihat akan berfikir ulang untuk dekat dengan kita.
Jika memang sudah tidak sanggup memendam semua perasaan sendiri, kita boleh mengungkapkan. Tidak ada yang melarang, lagipula siapa pula yang bisa melarang jika yang merasakannya kita sendiri. Hanya saja, cari tempat menyalurkan yang baik. Tidak semua orang yang bertanya "Ada apa" benar-benar peduli, terkadang ini hanya kalimat basa-basi atau kalimat dari mereka yang sekedar kepo dengan hidup kita, untuk akhirnya hanya melontarkan kata-kata basa-basi setelah mendengarkan cerita versi lengkap dari kita.
Hubungi teman, teman yang jelas-jelas kita percaya, yang mampu menjaga rahasia kita. Orang-orang yang bisa menjelek-jelekkan orang lain di depan kita, tidak menutup kemungkinan bisa melakukan hal yang sama kepada kita di belakang kita.
Tidak memiliki teman yang dipercaya? Tuangkan semua isi hatimu di kertas, penuhi kertas itu dengan isi hatimu. Takut ada yang membaca, bisa langsung kalian bakar. Malas menulis? Maka tidak ada tempat curhat yang paling baik selain di atas sajadah. Menangislah sesuka hatimu, mengadulah semua masalahmu. Maka kita akan merasakan ketenangan. 'Dia', tidak pernah meninggalkan kita. 'Dia' tidak pernah iseng  bercerita ke makhluk lain tentang keluh kesah kita, bahkan dengan kuasa-Nya akan membantu kita. Bantuan yang lebih dahsyat dan di luar kuasa semua makhluk-Nya.
Cobalah, kita harus mencoba untuk menjadi pribadi yang terbiasa menyelesaikan semua masalah sendiri. Jadilah orang yang mandiri. Jangan terlalu bergantung pada orang lain, karena tak selamanya mereka akan berada di sisi kita. Mereka akan pergi, entah pergi karena menemukan yang lain, bosan, atau karena kematian. Maka tempat bergantung sebaik-baiknya adalah kepada 'Dia'. 'Dia' tidak pernah meninggalkan kita, namun kitalah yang senantiasa menjauh, lupa bahkan sengaja melupakan 'Dia'.
Tapi bukan berarti saya melarang kalian untuk menshare atau menulis apapun di medsos. Boleh, sungguh boleh. Hanya saja, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih mana yang baik dan tidak. Apakah bermanfaat atau tidak. And last... Saya suka menjadi tempat orang bercerita. Menyenangkan saat mendengarkan seseorang bercerita, memberikan masukan. Insya Allah terjaga rahasia.